Tuesday, August 2, 2011

Sebuah Tulisan Tak Ilmiah Tentang Bumi dan Planet-Planet Kecilnya

First of all, saya ingin mengucapkan selamat berpuasa bagi kawan-kawan Muslim saya. Semoga Ramadhan tahun ini bisa menjadi titik tempat kita berkembang menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya. Semoga kita semua mencapai kemenangan yang sejati! :)

Kembali pada postingan saya kali ini, tulisan ini saya buat dalam kurun satu jam pada 1 Agustus 2011 malam. Dibuat secara spontan, postingan ini saya tulis selang beberapa hari (satu atau dua, mungkin) setelah terjadi sesuatu yang membuat saya ngamuk berat lantaran sebuah kalimat yang dilontarkan seseorang yang saya kenal :)

Galileo telah sukses membuktikan bahwa Bumi bukanlah pusat dari galaksi yang kita kenal. Bumi tak semega yang orang-orang pada masa itu kira; sebegitu hebatnya tanah pemberi kehidupan ini sehingga dianggap pantas menjadi pusat semesta. Pada faktanya, Galileo menemukan bukti bahwa Bumi hanyalah bagian dari sebuah galaksi yang menjadikan sebuah bintang bernama Matahari menjadi pusatnya.

Bagi saya, Milky Way alias Bimasakti ini terlihat seperti telor ceplok!

Luasnya Bimasakti pun masih belum seberapa. Alam semesta ini luasnya melebihi perhitungan manusia. Masih ada banyak galaksi dan intinya yang jauh lebih giga dan megah dibandingkan Bimasakti dan Matahari. Bumi? Besarnya saja kalah jauh dengan Jupiter. Apalagi dengan bintang yang lain!

Dan apakah kalian ingin membayangkan seperti apa kita, manusia, di tengah luasnya jagat raya ini? Mungkin saja kita tak lebih besar dibandingkan debu angkasa.

Oh, well. Saya bukan anak sains yang paham hal-hal berbau seperti itu. Seperti: jarak Matahari dengan Bumi; saya saja tak tahu! Dan yang akan saya tulis berikut bahkan jauh lebih tidak ilmiah dibandingkan hal-hal berbau paranormal (setidaknya, ada yang melakukan penelitian terhadap fenomena mistis tersebut dan memiliki bukti empirisnya).

Saya percaya bahwa Bumi adalah inti dari sebuah ‘galaksi’. Ada begitu banyak planet-planet yang mengelilinginya; bukan sekedar Sembilan – atau delapan? – seperti milik Bimasakti. Nama galaksinya? Sebut saja Galaksi Bumbum (maaf sudah merusak kenikmatan membaca anda… oh, are you reading?). Planet-planet di Galaksi Bumbum memiliki karakteristik berbeda dibanding planet yang kita kenal dari pelajaran IPA atau Biologi di bangku sekolah. Planet ini tidak merepresentasikan gumpalan zat padat or blablabla, tetapi mewujud dari manusia.

Pernah mendengar istilah “Women are from Venus, Men are from Mars”? Ya, mirip seperti itu lah, in case kalian terlalu jenius untuk memahami istilah rendahan yang saya bikin sendiri ini. Hanya, saya sendiri tidak meyakini istilah di atas tersebut benar adanya; satu perempuan saja bisa berbeda jauh dengan perempuan lainnya. Pun dengan lelaki. Jadi, bagi saya, bisa saja ada perempuan yang berasal dari Pluto, sementara ada lelaki yang datang dari Venus.



Saya perhatikan bahwa setiap manusia memiliki ‘planet’-nya sendiri. Planet tersebut tak mesti bernama, tetapi ada karakteristik yang membedakan dengan planet milik manusia lain. Pernah memperhatikan seperti apa kontrasnya penampilan perempuan yang terlahir dari keluarga kaya raya nan terpandang, di mana ia memiliki sumber daya tak terbatas (uang!) untuk memermak penampilannya agar sesuai dengan kelasnya, dan penampilan seorang perempuan biasa yang bersyukur bila bisa membeli satu stel baju baru setiap bulannya? Tidak, saya tidak sekedar membicarakan penampilan luar. Tetapi, lihat juga mindset yang telah ditanamkan pada dua jenis perempuan itu. Ditambah berbedanya lingkungan tempat mereka dibesarkan, semakin sulit planet mereka berdua untuk disatukan.

Saya tekankan kembali: ini tak melulu mengenai penampilan. Tetapi sesuatu yang berasal dari dalam diri manusia tersebut. Entah hasrat, ideologi, atau cara hidup. Individu itu unik, dan semirip apapun seseorang dengan orang lain, selalu ada satu poin yang menjadikan mereka berbeda.

Saya mengenal seseorang yang tampaknya tidak pernah menemukan seseorang seperti saya di ‘planet’-nya tersebut. Entah dia anggap saya aneh (oh, saya yakin bahwa normalitas hanyalah sebuah batasan semu yang diciptakan manusia dan tergantung pada bagaimana manusia tersebut menjadikan suatu hal itu biasa) atau apa, hanya saja tampaknya ia tak henti ‘menunjukkan betapa berbedanya saya dibandingkan manusia yang (sepertinya) biasa ia lihat’. Bukan dalam hal baik, sialnya.

Saya tahu kesabaran itu tidak boleh memiliki batas; sabar ya sabar. Tetapi, saya akhirnya sampai pada suatu titik di mana saya muak dengan polahnya. Di ‘planet’-nya, saya yakin hanya ada sekelompok makhluk pintar, cerdas, berwujud normal(dalam ukurannya, tentu), tetapi tidak tahu bagaimana caranya mengapresiasi dan menjaga perasaan orang lain.

Saya sendiri yakin, di ‘planet’-nya, waktu berjalan merangkak. Tak tahukah ia bahwa saat ini banyak manusia yang ingin dinilai, diapresiasi, dihargai, bukan karena bungkus luarnya? Manusia yang memiliki kemasan menarik saja meminta penghargaan yang dilepaskan dari atribut fisik seperti itu, apalagi manusia seperti saya! Dan sialnya (lagi), bagi manusia seperti saya, atribut itulah yang lebih sering ditekankan oleh manusia lain. Atribut itu tampaknya mereka yakini sebagai pembeda antara mereka dengan saya, apabila mengikuti keyakinan tiap individu adalah berbeda.

Bukannya saya marah (oh, ya, saya marah. Tapi itu dulu), saat ini saya hanya geram melihat masih banyaknya manusia yang berpikiran sesempit itu. Atau jangan-jangan, seperti itulah yang menjadi sesuatu yang ‘baik’ saat ini? Well, lagi-lagi planet saya berdinamika dengan kecepatan yang berbeda. Dan ini semakin mempertegas keyakinan saya bahwa perempuan tak melulu berasal dari Venus.

Planet-planet kecil yang mengelilingi Bumi ini bukannya tak memiliki dampak besar ketika saling bergesekan satu sama lain. Senggolan antara batu angkasa dengan sebuah planet saja bisa meninggalkan bekas; menganga dan besar. Pun dengan planet-planet kecil milik Bumi ini. Mungkin bekasnya tak sedahsyat contoh di atas, tetapi ada sakit yang jauh lebih perih dibandingkan gesekan fisik. Kesakitan seperti itu bahkan bisa terbawa sampai manusia itu mati dan planetnya hancur menjadi debu.

Memaksakan pandangan saya sepertinya bukan alternatif yang baik. Biarlah ia belajar dari pengalamannya, bahwa kestabilan Galaksi Bumbum tergantung dari apakah ia mampu menjaga keharmonisan antara satu planet dengan planet lainnya. Tak bisa saya bayangkan bila ia terus menyenggol planet lainnya; Bumi akan murka, mungkin. Terlebih, saya bukan tipikal manusia yang mau mempedulikan lagi manusia lain yang tak pernah menunjukkan bahwa ia memiliki respek.

Cukup satu kata untuk menutup tulisan tak ilmiah ini: persetan.

0 comments:

Post a Comment