Monday, April 23, 2012

Nasionalis Tanda Kutip


Halo, lama tak bersua di blog :)

Postingan kali ini nampaknya akan singkat saja, membahas soal tweet berikut:


click for larger image :)


Yap, sudah berkali-kali saya melihat opini serupa. Namun, jarang ada yang mau berargumen tentang ini. Sehingga, berkali-kali ya saya hanya melihat pendapat serupa, diiyakan, lalu selesai tanpa ada diskusi mendalam. Dan, kali ini saya hendak memberikan argumen mengapa berbahasa asing tidak melulu merupakan wujud ketidaknasionalisan atau wujud ketidakbanggaan sebagai orang Indonesia.


Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi definisi sebagai berikut:
na·si·o·na·lis·me n 1 paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan: --makin menjiwai bangsa Indonesia; 2 kesadaran keanggotaan dl suatu bangsa yg secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan


na·si·o·na·lis n 1 pencinta nusa dan bangsa sendiri; 2 orang yg memperjuangkan kepentingan bangsanya; patriot: ia adalah seorang pejuang -- sejati
Ya, seorang nasionalis, dalam definisi secara bahasa, adalah seorang pecinta. Namun, jangan tanya pada saya apa itu nasionalisme dan seorang nasionalis yang ideal; saya bukan orang yang bergelut dalam ideologi seperti itu.


Yang hendak saya tekankan di sini adalah: penggunaan bahasa asing tidaklah lantas melunturkan rasa cinta. Semester ini, saya mengambil mata kuliah Teori Akuntansi yang diampu oleh Suwardjono. Bagi kawan-kawan yang berkecimpung di bidang akuntansi, saya asumsikan semuanya familiar dengan nama ini. Beliau, selain menjadi dosen akuntansi, juga adalah pemerhati bahasa. Bagi yang tertarik membaca tulisan-tulisan beliau, silahkan klik di sini.


Berbahasa Indonesia memang penting. Tapi, adakah yang paham mengapa? Jangan beri saya jawaban 'bukti kecintaan akan Indonesia'. Bagi saya, argumen tersebut tidak kuat dan masih terlalu abstrak. Bahasa Indonesia memang adalah pemersatu bangsa, seperti yang dituangkan dalam Sumpah Pemuda. Namun, nampaknya kepentingan dan alasan untuk mempelajari bahasa ibu masih dimaknai secara abstrak.


Saya pernah membuat tanggapan artikel Suwardjono yang berjudul "Peran dan Martabat Bahasa Indonesia dalam Pengembangan Ilmu". Memang, tulisan tersebut akan lebih banyak mengarah pada urgensi bahasa Indonesia dalam lingkup akademik. Namun, karena saya adalah pelajar dan memang manfaat penguasaan bahasa Indonesia yang baik terjabar dengan jelas di sini, saya akan turut sedikit mengulas artikel tersebut beserta tanggapan saya.


Sudahkah kita, selama ini, memelajari bahasa Indonesia dengan baik dan benar? Saya sendiri baru menyadari bahwa bahasa Indonesia sungguh kompleks ketika saya sudah berada di bangku kelas 3 SMP. Lantaran posisinya sebagai bahasa ibu dan bahasa sehari-hari, bahasa Indonesia tidak dipelajari secara serius, meski sudah diajarkan di dalam pendidikan formal sejak bangku Sekolah Dasar. Serupa dengan pernyataan Suwardjono, bahasa Indonesia masih dipelajari dengan cara monkey see monkey do, alias sebatas secara alamiah. Padahal, bahasa Indonesia yang dipelajari di kehidupan sehari-hari adalah bahasa Indonesia yang berada pada aras yang rendah dan bahasa Indonesia di lingkungan pendidikan harusnya lebih canggih.


Dalam pendidikan formal, bahasa Indonesia sendiri seperti dianaktirikan dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Dalam artikel tersebut, Suwardjono menulis bahwa cendekiawan cenderung asing dengan bahasa Indonesia karena penguasaannya akan kosa kata bahasa asing lebih luas dibanding kosa kata bahasa Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia memiliki struktur yang juga canggih serta bermartabat. Dampaknya, dalam dunia pendidikan, saya menghindari buku terjemahan berbahasa Indonesia lantaran terjemahannya yang meragukan. Bandingan dengan Jepang, yang tak perlu menguasai bahasa Inggris dengan baik, namun mampu menyerap pengetahuan dalam berbagai buku lantaran negara membentuk badan bahasa (seperti Pusat Bahasa di sini) untuk menerjemahkan buku-buku tersebut ke dalam bahasa ibu. Rendahnya penguasaan bahasa Indonesia kita sering kali membuat kita memahami buku-buku ilmiah, yang ditulis dengan bahasa pada aras yang semestinya, dengan aras bahasa yang rendah. Sehingga, banyak yang mengeluh bahwa 'buku ini terlalu berat dibaca, istilahnya aneh-aneh'.


Menanggapi hal tersebut, saya menulis bahwa ada sebuah rantai yang membentuk hubungan tersebut. Rendahnya minat baca (sebagai faktor yang saya anggap berhubungan dengan rendahnya penguasaan kosa kata pelajar saat ini) dapat dipahami karena tingginya level bahasa dalam bacaan sementara pembaca tidak mengikuti bacaan tersebut dalam level yang semestinya. Di satu sisi, rendahnya minat membaca ini juga mendorong rendahnya penguasaan akan kosakata. Rendahnya kosakata yang dikuasai dan pengetahuan kebahasaan yang rendah menyebabkan akademisi tidak dapat menghasilkan karya ilmiah dengan tingkat bahasa yang semestinya.

Tak sadarkah kita bahwa penguasaan kita akan bahasa Indonesia juga sebenarnya berperan dalam globalisasi? KBBI menyebutkan bahwa globalisasi adalah 'proses masuknya ke ruang lingkup dunia'. Suwardjono sendiri menyebutkan bahwa pemaknaan globalisasi terkini diikuti dengan 'penginggrisan bangsa dan masyarakat'. Namun, Jepang memaknai globalisasi sebagai sebuah proses pengglobalan negara, bukan individu. Sehingga, penguasaan akan bahasa Inggris di sini menjadi wajib hukumnya, sementara bahasa Indonesia sendiri masih dipelajari dengan standar yang belum memadai.

Penguasaan akan bahasa Indonesia yang beraras tinggi sebenarnya membantu kita untuk menguasai bahasa asing dengan baik. Argumen saya adalah: kosa kata bahasa Indonesia kita yang terbatas turut membatasi kemampuan kita dalam menguasai kosa kata berbahasa Inggris. Contohlah bagaimana kita membedakan philanthropic dengan generous? Atau yang sederhana saja: earn dengan get?


Yang terakhir adalah, apa hubungan antara ocehan saya ini dengan judul, yang saya beri Nasionalis Tanda Kutip, alias "Nasionalis"? Tanda kutip yang mengapit sebuah julukan biasanya disertai pengucapan yang berbau sindiran. Ya, saya di sini hendak menyindir yang sangat bangga mengkritik soal penggunaan bahasa asing sebagai wujud ketidakcintaan, ketidaknasionalisan, atau ketidakbanggaan akan bahasa Indonesia. Akan tetapi, sindiran ini tidak hanya khusus bagi mereka saja. Tetapi, juga untuk kita semua: sudahkan kita berbahasa Indonesia dengan baik dan benar?
Ya,
M