Tuesday, September 4, 2012

Mwathirika Buat Saya


30 Agustus 2012 silam adalah kali kedua saya menyaksikan pentas Papermoon Puppet Theatre. Lakon yang diambil kali ini berjudul Mwathirika, diambil dari bahasa Swahili, yang berarti ‘korban’. Kali ini, saya menyaksikannya bersama Ana, Diba, dan Yoga, bocah tengil redaksi sekaligus mahasiswa jurusan Akuntansi 2011. Sayang seribu sayang, Faradilla yang menemani saya saat menyaksikan Setjangkir Kopi dari Plaja harus absen lantaran sedang menghadapi realita kehidupan berupa cacar air.

***

Baba, Tupu, Moyo, Haki, dan Lacuna. Tidak ada yang salah dengan kehidupan mereka. Tidak ada yang salah dengan Baba, sosok pria bertangan-satu yang begitu menyayangi Tupu dan Moyo. Tidak ada yang salah dengan Haki serta Lacuna yang berkursi-roda. Pun tidak dengan peluit merah yang dikalungkan di leher Moyo serta Tupu.

Alkisah, mereka hidup di zaman pemberontakan PKI.

Lantas, segitiga merah ditorehkan di jendela rumah mungil Baba, yang menyebabkan Haki tetiba berubah perangainya; menjauhi keluarga Baba dan melarang Lacuna bermain dengan Tupu. Kemudian, Baba dibawa pergi sosok-sosok bertopi hijau yang menentengi senjata api berlaras panjang.

Bilang saya cengeng atau kelewat sensitif, namun air mata saya tak bisa ditahan sejak Baba digiring pergi oleh para sosok-bertopi-hijau tersebut. Sejak Baba harus memperbaiki dulu mainan kuda-kudaan Tupu. Sejak Baba menciumi dahi Tupu dan Moyo. Dan air mata saya tidak berhenti mengalir sejak itu.



Tupu
Tupu adalah tokoh favorit saya. Masih ingat saya adegan di pagi hari, saat ia bangun tidur. Mengucek mata. Lantas kencing berdiri. Saya ingin melihat Tupu hidup di dunia dan masa yang lebih bahagia. Saya ingin melihat Tupu lebih banyak tertawa serta bergembira bersama Moyo, tanpa harus mencari pengertian mengapa Baba dibawa pergi. Tanpa keduanya harus menanti Baba. Tanpa Moyo harus mencari ke mana Baba pergi. Tanpa Tupu harus ditinggal sendiri.

Saya ingin ketiganya hidup bahagia, pada masa tiupan peluit merah Tupu tidak perlu terdengar begitu memilukan…

Dan pada masa ketika saya tidak perlu takut melihat Lacuna meniup peluit Tupu.

***
Belum pernah saya mendengar suara peluit yang terdengar begitu memilukan, hingga akhirnya saya menyaksikan Mwathirika. Apakah Baba, Tupu, Moyo, Haki, dan Lacuna benar adalah ‘korban’ dari apa yang diperangi negara? Atau mereka sekadar ‘korban’ dari waktu; mereka ‘hanya’ hidup di masa yang salah, ketika Baba, Tupu, dan Moyo sama sekali tidak paham mengapa harus ada segitiga merah yang tertoreh di rumah mungil mereka serta Haki hanya paham bahwa segitiga merah tersebut adalah tanda bahwa si empunya rumah harus dihindari.

Perasaan, bagi saya, adalah bahasa universal. Tak perlu banyak kata, tak perlu banyak dialog nan klise. Mood yang dibangun sepanjang pertunjukan Papermoon ini adalah bahasanya, adalah dialognya. Musik, setting, alur cerita, pencahayaan. Karenanya, saya sangat yakin pementasan-pementasan Papermoon akan sukses meski ditampilkan di luar negeri. Termasuk di Negeri Paman Sam bulan September ini.

Saya berjanji, ini bukan pementasan terakhir yang saya saksikan. Mwathirika ini akan menjadi yang kedua dari sekian pementasan Papermoon Puppet Theatre di masa depan yang akan saya tonton kelak!

Hanya sayang, pada pementasan ini saya tidak membawa kamera :(