Wednesday, December 19, 2012

Potensi dan Sinergi



Potensi dan Sinergi
oleh: Kikin Sakinah Nur Safira
Mahasiswi Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada


     Yogyakarta, sebagai ibukota Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), terkenal akan predikatnya sebagai kota pelajar dan kota budaya. Kentalnya nuansa budaya –terutama tradisional– di sini menjadikan anak budaya sebagai pemikat para wisatawan untuk menikmati uniknya Yogyakarta, dengan Keraton Yogyakarta sebagai pusatnya. Para anak budaya itu adalah berbagai produk kesenian, seperti tari dan musik, hingga kulinernya yang khas seperti gudeg.
     Kayanya legenda, mitos, serta sejarah yang tersebar di penjuru DIY menjadikan berbagai tempat menarik untuk dikunjungi. Selain Keraton, ada pula Benteng Vredeburg, Candi Prambanan, Candi Boko, serta berbagai pantai yang menyebar di garis pantai selatan Yogyakarta. Seluruhnya telah lazim diketahui dan hampir semua telah dikembangkan menjadi objek wisata yang terkelola. Namun, itu saja kah potensi pariwisata yang terdapat di DIY?
     Kata ‘Yogyakarta’, saat ini tidak sekadar merujuk pada wilayah administratif Kotamadya Yogyakarta saja. Yogyakarta telah merujuk pada keseluruhan wilayah DIY, terutama bagi turis maupun pendatang. Misalnya adalah label Yogyakarta sebagai kota pelajar dan terkenal akan Universitas Gadjah Mada (UGM), yang merupakan salah satu universitas terbaik di Indonesia. Pada kenyataannya, UGM secara administratif berada di Kabupaten Sleman.
     Dengan dikenalnya Yogyakarta sebagai kota pelajar, terdapat banyak pendatang dari luar kota yang menuntut ilmu di sini. Banyak dari pelajar yang berusia muda itu, baik pendatang maupun penduduk asli, dibekali dengan kreativitas tinggi. Kentalnya nuansa budaya di Yogyakarta, digabung dengan ide-ide baru nan segar, kerap kali melahirkan konsep kesenian baru, atau yang lebih dikenal sebagai budaya kontemporer.

Seni Kontemporer Saat Ini
     Seni rupa kontemporer, menurut Suwarno Wisetromo, tidak memiliki definisi tunggal. Kurator sekaligus dosen Institut Seni Indonesia ini menambahkan bahwa keberadaan kontemporer “ada karena eksistensi sesuatu yang klasik, yang menjadi tumpuan perkembangan seni tersebut (kontemporer)”. Hal ini dapat dibuktikan dari apa yang seorang pelaku tari terkenal, Didik Nini Thowok, yang tak segan mengembangkan seni tari yang dilakoninya ke dalam kreasi baru yang ia sebut sebagai tari komedi.  Tari komedi ini masih berakar kebudayaan Jawa, namun bersifat ringan, menghibur, dan menceritakan kehidupan sehari-hari. Ia pun memprediksi bahwa tari kontemporer dan tari kreasi baru akan tetap memiliki banyak peminat di masa depan.
     Prediksi ini dapat terbukti nyata dengan membanjirnya ide-ide segar dari para pemuda penikmat dan pekerja seni di Yogyakarta. Dari segi musik, saat ini telah banyak pertunjukan yang menggabungkan musik modern dengan musik tradisional. Salah satu contohnya adalah kelompok musik bernama Hip-Hop Foundation. Pun ada Wayang HipHop yang menggabungkan kesenian wayang dengan musik hip hop, yang didirikan oleh Ki Dalang Catur Benyek Kuncoro.


Potensi yang Memerlukan Atensi
     Menurut Berita Resmi Statistik yang dirilis BPS pada 3 September 2012, rata-rata tamu menginap per hari di Indonesia mengalami penurunan sejak 2010. Namun, jika ditilik pada data per propinsi, rata-rata justru meningkat di DIY. Meskipun rata-rata hari tersebut masih kalah dibandingkan Bali, peningkatan ini dapat disebut sebagai sinyal baik bagi pariwisata DIY. Terlebih, dengan penambahan jumlah hotel di Yogyakarta saat ini, serta konsep MICE (Meeting, Incentive, Conference, Exhibition) oleh Pemerintah Propinsi DIY, diharapkan bahwa waktu tinggal wisatawan dapat ditingkatkan menjadi lebih panjang. Dampaknya, jumlah penghuni di Yogyakarta pun turut bertambah.
     Sinyal baik ini sebenarnya mampu mendukung perkembangan seni kontemporer di Yogyakarta. Para wisatawan tersebut adalah expected consumers atau konsumen harapan atas kesenian tersebut. Sejalan dengan perkembangan seni kontemporer yang dinamis, kesenian kontemporer menjadi tak ada habisnya untuk dinikmati. Setiap tahun, bisa jadi ada seniman-seniman baru muncul dengan ide lain yang tak kalah segar. Pemain lama sendiri banyak yang tak lelah mengembangkan kesenian yang ia tekuni agar tak sekadar memiliki nuansa eksotisme Jawa yang menarik. Namun juga menyajikan sisi kesegaran ide; menjadi sebuah ‘kejutan’ bagi penikmatnya.
      Dengan potensi keduanya yang sama-sama besar, diperlukan adanya atensi lebih seperti promosi. Janganlah para seniman kontemporer ini tak terdengar gaungnya, hanya karena mereka masih muda dengan ‘komoditas’ seni yang tak terlalu mudah diterima penikmat seni pada umumnya. Menurut saya, dengan perkembangan internet saat ini, pemanfaatan situs pemerintah terkait seperti Dinas Pariwisata dapat dijadikan sarana untuk mengenalkan para seniman ini ke dunia luar.
     Pemanfaatan e-government pada Dinas Pariwisata Propinsi DIY dapat dikembangkan lebih jauh dengan adanya basis data para seniman di penjuru DIY. Lebih jauh lagi, mereka diperkenankan untuk memiliki laman profil layaknya jejaring sosial saat ini, sehingga mereka dapat memperbaharui informasi terkait jadwal pertunjukan maupun pameran seni mereka. Harapannya, informasi tersebut dapat dimanfaatkan bagi para wisatawan dalam merencanakan kunjungan mereka selama di Yogyakarta, terutama yang terkait dengan kesenian.

Yang Juga Perlu Diperhatikan
     Pengembangan pariwisata juga tidak lepas dari fungsi lainnya. Yang hendak saya soroti di sini adalah transportasi di Yogyakarta, terutama transportasi umum, yang menurut saya belum menunjang sisi pariwisata.
     Sebagai pengguna jasa transportasi umum dalam kehidupan sehari-hari, pernah saya dapati kondektur angkutan umum yang tidak mau mengangkut wisatawan mancanegara (wisman). Padahal, wisman tersebut jelas-jelas sudah mencegat bus. Pernah juga saya dapati pramugara bus hijau yang saya anggap kurang membantu seorang wisman, yang kebingungan harus turun di halte mana agar dia bisa meneruskan perjalanan menuju Pantai Samas. Ketika saya konfirmasi pada pramugara tersebut, ia berkata, “Sudah, Mbak. Sudah saya bilang, ‘Don’t worry,’ gitu.” Mungkin ia memang memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi menggunakan bahasa asing, minimal bahasa Inggris. Namun, tindakan yang ia berikan pada wisman tersebut terbukti tidak solutif, hingga saya yang harus menjelaskan bahwa ia harus turun di halte ke berapa dari Malioboro agar bisa melanjutkan perjalanan.
     Bagi saya, perbaikan pada sektor transportasi umum ini memerlukan reformasi besar-besaran. Memang, bus hijau melayani jauh lebih baik dibandingkan bus kota lainnya. Calon penumpang dapat memeroleh informasi melalui halte perihal trayek yang perlu ditempuh untuk mencapai tujuan. Namun, segi layanan perlu diasah lebih tajam. Sumber daya manusia harus dibekali kemampuan berbahasa asing yang memadai untuk menghadapi wisatawan asing, minimal percakapan singkat dalam memberikan informasi perihal bagaimana wisatawan tersebut dapat mencapai lokasi tujuan.
     Selain itu, dalam keterkaitan ide mengenai pemanfaatan situs Dinas Pariwisata dalam menunjang seni kontemporer pada poin sebelumnya, perlu diberikan informasi perihal moda transportasi apa yang dapat ditempuh untuk mencapai lokasi. Menurut saya, hal ini perlu karena sering kali lokasi pementasan atau pameran mengambil tempat bukan di area perkotaan.

Sinergi
     Tak pelak, peningkatan jumlah wisatawan, baik asing maupun lokal, semestinya didukung dengan fasilitas transportasi maupun akomodasi yang memadai. Terlebih, keinginan untuk meningkatkan lama waktu wisatawan tinggal di Yogyakarta melalui MICE tentunya menuntut urgensi kelayakan infrastruktur penunjang.
     Dukungan pada transportasi akan membantu mereduksi kepadatan jalan. Bila tidak, pemandangan mobil-mobil pribadi yang berjejalan di jalanan juga tetap akan menjadi pemandangan lazim kala musim liburan. Kemacetan ini pun mengurangi efisiensi angkutan umum, terlebih bus hijau yang mempergunakan subsidi, serta mengurangi kenyamanan saat tinggal di Yogyakarta.
    Bagaimana rupa pariwisata Yogyakarta tidak dapat ditentukan dari cetak biru milik Dinas Pariwisata semata. Diperlukan adanya sinergi, yang diawali dari perbaikan infratruktur dan sumber daya manusia yang dapat bersinggungan dengan sektor pariwisata, agar pariwisata Yogyakarta terus berkembang mengikuti dinamika zaman tanpa harus melepaskan akar tradisionalnya. Selain itu, tak sekadar dukungan moral, dukungan finansial pun perlu digenjot untuk membesarkan kesenian kontemporer ini. Gelaran seni seperti Biennale, ART|JOG, dan semacamnya perlu didukung lebih serius. Jangan sampai pemerintah kalah oleh salah satu yayasan yang juga bergerak di bidang kesenian, yang rajin mensponsori berbagai acara seni tak hanya di Yogyakarta tapi juga di skala nasional.



REFERENSI
Adikta, D.D. dan Nurdiana, S.R., 2011. “Rupa Berhiaskan Harapan”. Equilibrium, No. XIII, 2011, h.
        45-46.
Badan Pusat Statistik, 2012. Berita Resmi Statistik No. 58/09/Th. XV, 3 September 2012. [pdf] Jakarta: Badan Pusat Statistik. Tersedia di: www.bps.go.id/brs_file/pariwisata_03sep12.pdf [diakses pada 18 Desember 2012].
Maharini, E. dan Indri, M., 2011. “Tari Kreasi Baru: Wujud Kebebasan Berakar Tradisi.”. Equilibrium,
        No. XIII, 2011, h. 47-48.
P. A. Kemal, et al., 2012. “ Menengok Rapor Merah, Menelisik Masalah.” Equilibrium, No. XIV, 2012,
        h. 18-20.

Friday, October 5, 2012

Melompat Keluar Lingkaran (bukan cerita soal beruang sirkus)

Selamat datang, semester tujuh :)

Iyaaaa, saya sudah tua sekarang. Sudah masuk angka tahun ketika adik-adik yang lebih muda akan bertanya: "Kapan skripsi?" Dan mereka yang lebih tua akan merespons: "Wah, sudah mau lulus, ya?"
Padahal, jawabannya adalah, "Belum." :p

Saya bukan mahasiswa-kelas-ekspress yang sudah mencicil skripsi dari semester silam, meskipun proposal skripsi dari mata kuliah Metopen sudah selesai. Tapi memang belum jatahnya skripsian semester ini, baik formal maupun informal. Selain masih mengambil cukup banyak jatah SKS yang harus diselesaikan (bukan ngulang, lho :p), masih ada pekerjaan sampingan yang cukup menyita waktu. Jadi, status mahasiswa ini mungkin akan masih melekat selama dua semester ke depan, jika rencana saya berjalan mulus :-)

Terlepas dari kerempongan semester 7 sejauh ini, semester ini terasa cukup menyenangkan bagi saya. Biarpun tugas menumpuk, pekerjaan membanjir, namun saya bisa melakukannya dengan cukup rileks :)

Apa yang saya nikmati saat ini adalah bagaimana saya bisa berada di luar 'lingkaran' tempat saya biasa berada, meskipun 'lingkaran' itu juga bukan saya sengajakan melibatkan saya. Ya, 'lingkaran' itu muncul hanya karena kawan dekat saya terlibat dalam 'lingkaran' itu, sehingga mau-tak-mau saya ikut terbawa. Habis, kalau mau main sama dia, juga pasti terlibat di sana sih.

Pertemanan itu bukan hal yang kompleks, namun juga tak sesederhana bernapas. Bahkan, bernapas melibatkan proses di dalam tubuh yang nyatanya tak sependek mengetik huruf A. Bagi saya, membangun hubungan pertemanan yang baik itu perlu. Ya, tak perlu memandang faktor-faktor lain seperti kaya-miskin, gaul-cupu, warna kulit, dan sebagainya, sebuah hubungan baik harus diciptakan. Sebab, siapa bisa menyangka bahwa kelak kita justru akan berhubungan dengan mereka dalam frekuensi yang lebih intim? :)

Sebuah ikatan mental atau emosi adalah tahapan yang lebih jauh dari hubungan pertemanan tersebut. Mungkin itu yang membuat dua atau lebih manusia merasakan kedekatan yang lebih dan menamai diri mereka: sahabat.

Saya sendiri bukan tipikal orang yang mudah lekat dengan seseorang atau suatu 'lingkaran'. Saya nyaman seperti ini, mengenal banyak orang dan menjalin hubungan pertemanan yang baik, tanpa banyak bumbu drama. Saya tidak mudah menyebut seseorang lain sebagai 'sahabat', karena saya tahu terma tersebut memiliki arti lebih dari sekadar kata-kata seperti dalam KBBI. Ada ikatan emosi yang terbentuk di sana, tumbuh dari rasa percaya, aman, dan nyaman.

Saya merasa beruntung memiliki karakter seperti itu.

Tepat ketika saya hendak menginjak usia dua-puluh-satu, saya menyadari (setelah ada jarak karena waktu dan kesibukan, serta introspeksi atas diri sendiri) bahwa mungkin, selama ini, saya telah memilih orang-orang yang salah untuk berada di sekitar saya. Bahwa saya mengenal lebih banyak orang yang jauh memberi kepuasan batin dan mampu memberikan kenyamanan, membuat saya makin menyesali diri sendiri.

Perihal saya telah memilih orang-orang yang salah, itu bukan berarti mereka adalah orang yang tidak tepat untuk dijadikan kawan. Bukan seperti itu. Do not get me wrong.

Saya melihat manusia seperti kepingan puzzle: satu keping dapat melengkapi dan menyempurnakan susunan puzzle menjadi sebuah gambar yang cantik. Ya, mungkin kami adalah kepingan puzzle yang berbeda, dan melengkapi gambar yang berbeda pula. Sehingga, di sini maksud kata salah bukan berarti mereka adalah orang yang salah dan tidak pantas untuk ditemani. Saya sudah cukup dewasa untuk memahami bahwa kesalahan tidak selamanya terletak pada diri orang lain. Mungkin saja selama ini saya yang salah, tetap memaksa memasangkan kepingan puzzle saya di tempat yang salah.

Dan saat ini, saya mendapat kesempatan untuk melompat keluar dari 'lingkaran' tempat saya biasa berada. Bukan hal yang rumit, mengingat nyaris tiadanya ikatan emosi yang mengikat saya dengan mereka.




Hal yang menyenangkan dari melompat keluar saat ini adalah kesempatan untuk mengenal lebih banyak orang. Saya lebih senang mengenal orang lain menurut subjektivitas saya sendiri, bukan menurut subjektivitas orang lain. Dan memang, hal ini jauh lebih menyenangkan dilakukan. Rasanya seperti berpetualang :-D

Ada seseorang. Dan tanpa harus 'termakan' cerita tentang seseorang tersebut, saya mendapati ia adalah orang yang cukup menyenangkan. Selain itu, saya juga bisa mengenal lebih jauh orang-orang yang telah saya kenal sebelumnya. Namun, menyenangkan bisa mengenal mereka secara lebih dekat. Dan saya mendapati sedikit cerita pribadi mereka, yang membuat saya paham mengapa mereka menjadi orang yang seperti itu. Yang lebih menyenangkan lagi adalah bahwa ada orang-orang yang cocok dengan saya: kepribadian, visi, dan keinginan untuk terus bekerja keras. Karena bagi orang-orang seperti saya, hidup itu campuran seperti Kacang Segala Rasa Bertie Botts; kadang rasanya enak seperti cokelat, kadang rasanya menjijikkan seperti rasa kotoran telinga (bukan berarti saya pernah mencoba, tapi tanpa mencoba saja sudah terdengar menjijikkan, kan?).

Namun, ada kalanya saya merasa harus merubah sedikit sudut pandang saya. Mungkin, selama ini kepingan puzzle saya yang justru menggunakan persepktif yang berbeda. Seperti kedua gambar berikut ini:



Dan bila saya mau membalik perspektif saya, sebenarnya selama ini saya berusaha melengkapi puzzle yang sama! :)

Tuesday, September 4, 2012

Mwathirika Buat Saya


30 Agustus 2012 silam adalah kali kedua saya menyaksikan pentas Papermoon Puppet Theatre. Lakon yang diambil kali ini berjudul Mwathirika, diambil dari bahasa Swahili, yang berarti ‘korban’. Kali ini, saya menyaksikannya bersama Ana, Diba, dan Yoga, bocah tengil redaksi sekaligus mahasiswa jurusan Akuntansi 2011. Sayang seribu sayang, Faradilla yang menemani saya saat menyaksikan Setjangkir Kopi dari Plaja harus absen lantaran sedang menghadapi realita kehidupan berupa cacar air.

***

Baba, Tupu, Moyo, Haki, dan Lacuna. Tidak ada yang salah dengan kehidupan mereka. Tidak ada yang salah dengan Baba, sosok pria bertangan-satu yang begitu menyayangi Tupu dan Moyo. Tidak ada yang salah dengan Haki serta Lacuna yang berkursi-roda. Pun tidak dengan peluit merah yang dikalungkan di leher Moyo serta Tupu.

Alkisah, mereka hidup di zaman pemberontakan PKI.

Lantas, segitiga merah ditorehkan di jendela rumah mungil Baba, yang menyebabkan Haki tetiba berubah perangainya; menjauhi keluarga Baba dan melarang Lacuna bermain dengan Tupu. Kemudian, Baba dibawa pergi sosok-sosok bertopi hijau yang menentengi senjata api berlaras panjang.

Bilang saya cengeng atau kelewat sensitif, namun air mata saya tak bisa ditahan sejak Baba digiring pergi oleh para sosok-bertopi-hijau tersebut. Sejak Baba harus memperbaiki dulu mainan kuda-kudaan Tupu. Sejak Baba menciumi dahi Tupu dan Moyo. Dan air mata saya tidak berhenti mengalir sejak itu.



Tupu
Tupu adalah tokoh favorit saya. Masih ingat saya adegan di pagi hari, saat ia bangun tidur. Mengucek mata. Lantas kencing berdiri. Saya ingin melihat Tupu hidup di dunia dan masa yang lebih bahagia. Saya ingin melihat Tupu lebih banyak tertawa serta bergembira bersama Moyo, tanpa harus mencari pengertian mengapa Baba dibawa pergi. Tanpa keduanya harus menanti Baba. Tanpa Moyo harus mencari ke mana Baba pergi. Tanpa Tupu harus ditinggal sendiri.

Saya ingin ketiganya hidup bahagia, pada masa tiupan peluit merah Tupu tidak perlu terdengar begitu memilukan…

Dan pada masa ketika saya tidak perlu takut melihat Lacuna meniup peluit Tupu.

***
Belum pernah saya mendengar suara peluit yang terdengar begitu memilukan, hingga akhirnya saya menyaksikan Mwathirika. Apakah Baba, Tupu, Moyo, Haki, dan Lacuna benar adalah ‘korban’ dari apa yang diperangi negara? Atau mereka sekadar ‘korban’ dari waktu; mereka ‘hanya’ hidup di masa yang salah, ketika Baba, Tupu, dan Moyo sama sekali tidak paham mengapa harus ada segitiga merah yang tertoreh di rumah mungil mereka serta Haki hanya paham bahwa segitiga merah tersebut adalah tanda bahwa si empunya rumah harus dihindari.

Perasaan, bagi saya, adalah bahasa universal. Tak perlu banyak kata, tak perlu banyak dialog nan klise. Mood yang dibangun sepanjang pertunjukan Papermoon ini adalah bahasanya, adalah dialognya. Musik, setting, alur cerita, pencahayaan. Karenanya, saya sangat yakin pementasan-pementasan Papermoon akan sukses meski ditampilkan di luar negeri. Termasuk di Negeri Paman Sam bulan September ini.

Saya berjanji, ini bukan pementasan terakhir yang saya saksikan. Mwathirika ini akan menjadi yang kedua dari sekian pementasan Papermoon Puppet Theatre di masa depan yang akan saya tonton kelak!

Hanya sayang, pada pementasan ini saya tidak membawa kamera :(

Friday, July 6, 2012

#Lampsindofans2ndAnniversary Competition



Right after we gave three @lampsindofans’ t-shirts to three winners of our essay competition due our 1st anniversary, now we’re going to give a Chelsea 2012/13 home jersey for FREE, presented by @lampsindofans and Jersey Station (@Your_JerseyShop).

What you have to do to win the jersey is to join our #Lampsindofans2ndAnniversary Competition:
  1. First, you must follow our account (@lampsindofans) and Jersey Station (@Your_JerseyShop), for sure! ;)
  2. Draw a poster about Chelsea and Lampard, with no help of digital software like Corel or Photoshop. It must be drawn on a sheet of A3-sized paper. You may use crayons or colouring pen to colour the picture you’ve drawn. Be creative! :D
  3. When you’ve finished your picture, take a photo of your poster using a good camera that could produce a high-resolution photo. So, we can see your photo better!
  4. Then, e-mail the poster to lampsindofans@gmail.com BEFORE AUGUST 10, 2012 with subject “#Lampsindofans2ndAnniversary Competition”.
  5. Tell us the story behind the poster (e.g.: reason why you admire Lampard). Do not forget to write your name, Twitter username, and your home address on the message body.

 So, what are you waiting for? Get the paper, draw the poster, and e-mail us! :)



Setelah memberikan tiga kaos @lampsindofans kepada tiga pemenang dari kompetisi esai pada ulang tahun pertama @lampsindofans, sekarang kami akan memberikan satu jersey kandang 2012/13 Chelsea persembahan dari @lampsindofans dan Jersey Station (@Your_JerseyShop).
Untuk memenangkan jersey tersebut, kalian harus mengikuti #Lampsindofans2ndAnniversary Competition:
  1. Pertama, tentu kalian harus mengikuti akun kami (@lampsindofans) dan akun Jersey Station (@Your_JerseyShop)! ;)
  2. Gambar sebuah poster mengenai Chelsea dan Lampard, tanpa bantuan perangkat lunak digital seperti Corel tau Photoshop. Poster harus digambar dalam kertas berukuran A3. Kalian dapat menggunakan krayon atau spidol untuk mewarnai. Yang kreatif ya! :D
  3. Ketika posternya sudah selesai, foto postermu menggunakan kamera yang bagus yang menghasilkan foto beresolusi tinggi. Jadi, kami bias melihat postermu dengan lebih jelas!
  4. Kemudian, kirim postermu melalu e-mail ke lampsindofans@gmail.com SEBELUM 10 AGUSTUS 2012 dengan subjek “#Lampsindofans2ndAnniversary Competition”.
  5. Ceritakan kepada kami cerita di balik poster yang kalian buat (contoh: mengapa kalian mengagumi Lampard). Jangan lupa tulis namamu, nama akun Twitter-mu, dan alamat rumahmu dalam e-mail.


Jadi, apa yang kalian tunggu? Ambil kertas, gambar posternya, dan kirim ke kami! :)

Wednesday, June 6, 2012

This.

Photo's taken by me.


"The stars are blazin like rebels diamond cut out of the sun when you read my mind."
The Killers

Wednesday, May 30, 2012

Selesai.


Saya selalu meyakini bahwa saya tidak berada pada posisi yang dapat mengajukan tawaran. Bayangkan kurva pemintaan dan penawaran dalam ekonomi; posisi saya, bagi saya, adalah anomali. Nyaris serupa dengan pasar persaingan tak sempurna, hanya saja di sini tidak ada pihak yang menawarkan. Dan bagaimana saya bisa mengajukan tawaran, jika “pasar” bagi saya saja tak tersedia? Haruskah saya menghabiskan waktu menunggu agar kurva tersebut berfungsi senormalnya?

Berbicara soal menunggu, saya memiliki perasaan yang aneh soal ini. Selama ini, saya merasa saya terlalu lama menunggu. Dan akhirnya, saya lelah sendiri. Bahwa apa yang selama ini saya dapatkan dari usaha menunggu itu sendiri membuat saya berpikir bahwa selama ini saya membuang waktu.

Ya, saya tahu hidup adalah rimba ketidakpastian dan ketidaktahuan. Dan manusia yang tak siap menjelajahi rimba itu, bagi saya, adalah pengecut. Dan saya kali ini berani mencap diri saya pengecut lantaran saya tak ingin berlarut dalam rimba tersebut dengan cara menunggu. Terserah apa yang saya tunggu itu justru kelak akan datang ketika saya baru saja memutuskan bahwa saya akan telah beranjak pergi; terlambat adalah terlambat, dan itulah takdir yang kita upayakan sendiri.

Saya hanya tak ingin menghabiskan waktu terlalu lama untuk menunggu, selama saya masih bisa menangis karena hati saya yang sedih. Semua orang tentu ingin bahagia, dan saya harus bisa mendapatkan kebahagiaan saya sendiri.

Orang-orang tak ingin menghabiskan hidupnya sendirian saja. Dan meskipun saya terkadang sering merasa terlalu muda—dan di satu waktu saya akan merasa saya sudah cukup dewasa—untuk memutuskan ini, saya memutuskan bahwa selamanya saya harus berkawan dengan diri sendiri. Karena dialah sosok yang akan paling setia menemani saya, bahkan ketika daging saya habis dikoyak cacing-cacing penghuni liang tempat manusia nanti membusuk dengan sebongkah batu berukir sebuah nama.

Monday, April 23, 2012

Nasionalis Tanda Kutip


Halo, lama tak bersua di blog :)

Postingan kali ini nampaknya akan singkat saja, membahas soal tweet berikut:


click for larger image :)


Yap, sudah berkali-kali saya melihat opini serupa. Namun, jarang ada yang mau berargumen tentang ini. Sehingga, berkali-kali ya saya hanya melihat pendapat serupa, diiyakan, lalu selesai tanpa ada diskusi mendalam. Dan, kali ini saya hendak memberikan argumen mengapa berbahasa asing tidak melulu merupakan wujud ketidaknasionalisan atau wujud ketidakbanggaan sebagai orang Indonesia.


Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi definisi sebagai berikut:
na·si·o·na·lis·me n 1 paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan: --makin menjiwai bangsa Indonesia; 2 kesadaran keanggotaan dl suatu bangsa yg secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan


na·si·o·na·lis n 1 pencinta nusa dan bangsa sendiri; 2 orang yg memperjuangkan kepentingan bangsanya; patriot: ia adalah seorang pejuang -- sejati
Ya, seorang nasionalis, dalam definisi secara bahasa, adalah seorang pecinta. Namun, jangan tanya pada saya apa itu nasionalisme dan seorang nasionalis yang ideal; saya bukan orang yang bergelut dalam ideologi seperti itu.


Yang hendak saya tekankan di sini adalah: penggunaan bahasa asing tidaklah lantas melunturkan rasa cinta. Semester ini, saya mengambil mata kuliah Teori Akuntansi yang diampu oleh Suwardjono. Bagi kawan-kawan yang berkecimpung di bidang akuntansi, saya asumsikan semuanya familiar dengan nama ini. Beliau, selain menjadi dosen akuntansi, juga adalah pemerhati bahasa. Bagi yang tertarik membaca tulisan-tulisan beliau, silahkan klik di sini.


Berbahasa Indonesia memang penting. Tapi, adakah yang paham mengapa? Jangan beri saya jawaban 'bukti kecintaan akan Indonesia'. Bagi saya, argumen tersebut tidak kuat dan masih terlalu abstrak. Bahasa Indonesia memang adalah pemersatu bangsa, seperti yang dituangkan dalam Sumpah Pemuda. Namun, nampaknya kepentingan dan alasan untuk mempelajari bahasa ibu masih dimaknai secara abstrak.


Saya pernah membuat tanggapan artikel Suwardjono yang berjudul "Peran dan Martabat Bahasa Indonesia dalam Pengembangan Ilmu". Memang, tulisan tersebut akan lebih banyak mengarah pada urgensi bahasa Indonesia dalam lingkup akademik. Namun, karena saya adalah pelajar dan memang manfaat penguasaan bahasa Indonesia yang baik terjabar dengan jelas di sini, saya akan turut sedikit mengulas artikel tersebut beserta tanggapan saya.


Sudahkah kita, selama ini, memelajari bahasa Indonesia dengan baik dan benar? Saya sendiri baru menyadari bahwa bahasa Indonesia sungguh kompleks ketika saya sudah berada di bangku kelas 3 SMP. Lantaran posisinya sebagai bahasa ibu dan bahasa sehari-hari, bahasa Indonesia tidak dipelajari secara serius, meski sudah diajarkan di dalam pendidikan formal sejak bangku Sekolah Dasar. Serupa dengan pernyataan Suwardjono, bahasa Indonesia masih dipelajari dengan cara monkey see monkey do, alias sebatas secara alamiah. Padahal, bahasa Indonesia yang dipelajari di kehidupan sehari-hari adalah bahasa Indonesia yang berada pada aras yang rendah dan bahasa Indonesia di lingkungan pendidikan harusnya lebih canggih.


Dalam pendidikan formal, bahasa Indonesia sendiri seperti dianaktirikan dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Dalam artikel tersebut, Suwardjono menulis bahwa cendekiawan cenderung asing dengan bahasa Indonesia karena penguasaannya akan kosa kata bahasa asing lebih luas dibanding kosa kata bahasa Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia memiliki struktur yang juga canggih serta bermartabat. Dampaknya, dalam dunia pendidikan, saya menghindari buku terjemahan berbahasa Indonesia lantaran terjemahannya yang meragukan. Bandingan dengan Jepang, yang tak perlu menguasai bahasa Inggris dengan baik, namun mampu menyerap pengetahuan dalam berbagai buku lantaran negara membentuk badan bahasa (seperti Pusat Bahasa di sini) untuk menerjemahkan buku-buku tersebut ke dalam bahasa ibu. Rendahnya penguasaan bahasa Indonesia kita sering kali membuat kita memahami buku-buku ilmiah, yang ditulis dengan bahasa pada aras yang semestinya, dengan aras bahasa yang rendah. Sehingga, banyak yang mengeluh bahwa 'buku ini terlalu berat dibaca, istilahnya aneh-aneh'.


Menanggapi hal tersebut, saya menulis bahwa ada sebuah rantai yang membentuk hubungan tersebut. Rendahnya minat baca (sebagai faktor yang saya anggap berhubungan dengan rendahnya penguasaan kosa kata pelajar saat ini) dapat dipahami karena tingginya level bahasa dalam bacaan sementara pembaca tidak mengikuti bacaan tersebut dalam level yang semestinya. Di satu sisi, rendahnya minat membaca ini juga mendorong rendahnya penguasaan akan kosakata. Rendahnya kosakata yang dikuasai dan pengetahuan kebahasaan yang rendah menyebabkan akademisi tidak dapat menghasilkan karya ilmiah dengan tingkat bahasa yang semestinya.

Tak sadarkah kita bahwa penguasaan kita akan bahasa Indonesia juga sebenarnya berperan dalam globalisasi? KBBI menyebutkan bahwa globalisasi adalah 'proses masuknya ke ruang lingkup dunia'. Suwardjono sendiri menyebutkan bahwa pemaknaan globalisasi terkini diikuti dengan 'penginggrisan bangsa dan masyarakat'. Namun, Jepang memaknai globalisasi sebagai sebuah proses pengglobalan negara, bukan individu. Sehingga, penguasaan akan bahasa Inggris di sini menjadi wajib hukumnya, sementara bahasa Indonesia sendiri masih dipelajari dengan standar yang belum memadai.

Penguasaan akan bahasa Indonesia yang beraras tinggi sebenarnya membantu kita untuk menguasai bahasa asing dengan baik. Argumen saya adalah: kosa kata bahasa Indonesia kita yang terbatas turut membatasi kemampuan kita dalam menguasai kosa kata berbahasa Inggris. Contohlah bagaimana kita membedakan philanthropic dengan generous? Atau yang sederhana saja: earn dengan get?


Yang terakhir adalah, apa hubungan antara ocehan saya ini dengan judul, yang saya beri Nasionalis Tanda Kutip, alias "Nasionalis"? Tanda kutip yang mengapit sebuah julukan biasanya disertai pengucapan yang berbau sindiran. Ya, saya di sini hendak menyindir yang sangat bangga mengkritik soal penggunaan bahasa asing sebagai wujud ketidakcintaan, ketidaknasionalisan, atau ketidakbanggaan akan bahasa Indonesia. Akan tetapi, sindiran ini tidak hanya khusus bagi mereka saja. Tetapi, juga untuk kita semua: sudahkan kita berbahasa Indonesia dengan baik dan benar?
Ya,
M

Sunday, February 19, 2012

Semacam Tips dan Trik KRS FEB UGM: Ulala Yeyeye! :D

Yes. Akhirnya, kemarin Senin 13 Februari 2012 adalah KRS saya yang kelima, which means saya sudah masuk ke semester 6 :’)
Melihat usia perkuliahan saya yang tak lagi remaja, saya anggap saya sudah rasakan pahit-manis-asam-asin dunia per-KRS-an. Karena itulah, saya putuskan untuk membuat posting ini. Jikalau nanti saya tiba-tiba mogok blogging, ada tambahan satu posting yang (insya Allah) bermanfaat.
Postingan ini akan berupa catatan pengalaman KRS saya sejak semester 2 hingga semester 6 ini (soalnya semester 1 modelnya paketan). Dari pengalaman tersebut, silahkan dipetik pesan moralnya. Insya Allah nggak tersesat :p

KRS Semester 2 (Februari 2010)
Uuuuw, hidup sebagai mahasiswa belum lengkap kalau belum KRSan. Biarpun harus diospek sejuta kali, kalo belum KRSan itu belum mahasiswa. Titik.
Pas KRS semester 2 ini, jadwal KRSnya dimulai jam 8 pagi. Beda sama KRS barusan, pas ini kalo KRS masih dibagi-bagi gitu. Jadi, engga tumplek blek se-FEB akses Sintesis dalam satu waktu. Tiap kali dijatah, saya selalu kebagian KRS di hari ketiga. Enak banget, soalnya yang hari pertama biasanya trobel hehehe
Nah, jam 6 pagi saya udah nongkrong dengan manis dan belum mandi di A-Net, warnet yang masih sodaraan sama Blangkon dan terletak di deket MAP UGM. Denger-denger sih kenceng. Nah, begitu dapet bilik, saya langsung jajal tips dari seorang senior: langsung buka dan login Sintesis, terus refresh tiap 5 menit.
Kalau KRS dijatah gini, biasanya habis dalam 4 hari. Jadi, dalam sehari, cuman dibuka 15 tambahan kuota untuk tiap mata kuliah. Dan problem dimulai saat saya sudah bisa KRS-an, tapi….
KUOTANYA BELUM NAMBAH!!!
Panik. Jegerrr. Dan saya KRS-an sendiri, tanpa kawan.
Lalu saya nelfon Dito, yang konon lagi di Labkom, nemenin Vina. Katanya, di Labkom sendiri juga rusuh, karena kuotanya nggak nambah. Tapi, saya nggak mau panik sendirian. Saya paksa dia buat nyamperin saya. Kebetulan, dia sebenernya lagi ada RAT Kopma di Filsafat. Kemudian dia izin buat nyamperin saya dengan alesan: semacam teman saya lagi KRSan dan panik dan pingsan. Fine.
Lalu, kuota pun nambah. Saya langsung bergerak secepat (yang saya bisa) nya buat milihin dosen dan kelas yang sesuai dengan plan KRS saya. Sayangnya, saya miss untuk beberapa kelas; ada yang nggak dapet kelas sama sekali, ada yang banting setir ke dosen lain. Saya inget banget tuh, karena nggak kebagian Bahasa Inggris II, akhirnya saya ambil Sosiologi dan Politik dalam usia yang semuda itu (sebenernya nggak ngaruh juga sih…)
Dan semester 2 pun berlalu, saya dapet A untuk Statistika I, dengan dosen Bu Diny yang notabene susah kasih nilai fufufu (denger-denger sih karena beliau abis itu nerusin S3 di luar negeri, makanya ngasih bagus)

KRS Semester 3 (Agustus 2010)
Wah, ini KRS paling memorable. Kenapa? Baca aja deh (kalo penasaran) :D
Beda sama sebelumnya, KRS pas ini dimulai… jam 12 malem! Pas puasa sih ya, nggak tau deh motifnya apaan. Biar ngga tabrak tarawih mungkin, atau biar sekalian melek sahur. Ah, whatever.
Masih sama kayak sebelumnya, jadwal KRSnya juga dibagi-bagi. Nah, di sini KRS mulai dari 16 Agustus 2010 sampe 20 Agustus 2010, dengan catatan pada tanggal 17 Agustus 2010 sistem libur dan mahasiswa dapat mengakses dari luar FEB. Saya sendiri dapet jatah KRS tanggal 19.
Petaka terjadi saat tanggal 17 itu.
Tanggal 17 itu, banyak dari kami yang memahaminya sebagai: nggak ada KRS. Fakta: KRS tetep ada, bisa diakses semua anak FEB, dan kuota yang dibuka ada TIGA PULUH KURSI!!
Seorang teman sudah mencoba menghubungi saya, baik telepon maupun sms. Tapi, saya kalo sahur emang nggak pernah ngebuka HP. Dan saya baru tau kalo bisa KRS… jam setengah Sembilan pagi.
Dan buru-burulah saya ke rumah tetangga saya, Iffa, buat nebeng KRS-an. Hasilnya: Senin saya kuliah jam 7 pagi sampe jam 6 malem, alias kuliah 11 sks. Saya dapet kelas Akuntansi Biaya yang nggak saya pengen, dan jadwalnya nabrak sama Etika Bisnis.
Sorenya, saya bertemu dengan Dito dan Ira untuk rekonsiliasi KRS di Kawaii Sushi (sekalian nyicip, soalnya pas itu Kawaii Sushi masih baru). Akhirnya, kami putuskan untuk nekat KRSan malam itu (tanggal 18 Agustus, yang semestinya bukan jadwal kami bertiga untuk KRSan). Saya dan Dito sepakat untuk ngelepas kelas Akbi-yang-tidak-kami-inginkan itu sepuluh menit jelang tengah malam. Dan benar saja, pada tanggal itu, ternyata semua mahasiswa masih bisa mengakses Sintesis. Saya pun dapet kelas Akbi Pak Arief, sekaligus dapet kelas Etbis. Yayy!
So far, dengan jadwal kuliah yang tumplek blek di hari Senin dan Selasa, IP saya di semester ini justru yang paling tinggi dibanding semester lainnya. Tuhan masih sayang sama saya, terutama untuk mata kuliah Statistika II :D

KRS Semester 4 (Februari 2011)
KRS ini masih pake sistem dijatah dan jadwalnya dibalikin jadi jam 8 malem lagi. Saya? Teteup kebagian jadwal di hari ketiga.
KRS saya sendiri lancar, mulus, selow kayak di pulow. KRS paling sukses, karena saya memutuskan untuk KRSan di warnet yang konon katanya paling kenceng buat KRSan: Platinum. Nggak kayak lainnya yang pake PC, saya KRSan pake wifi. Kalo ngga salah, pas itu ada problem sama urusan per-booking-an gitu deh. Untungnya saya bawa Cero, netbook saya paling keren :’)
Nah, drama di KRS semester 4 ini justru terjadi di hari pertama: banyak yang nggak bisa KRSan lantaran jam 8 banyak yang belum bisa masuk Sintesis. Yang udah bisa masuk sendiri cuman bisa bengong karena jatah sks jadi nol! Kalo jatah sks nol, mahasiswa jadi nggak bisa milih sebijipun mata kuliah. Temen saya sendiri, Gisella dan Seya, baru bisa KRSan jam 9 malem dan terpaksa ‘memungut’ sisa-sisa mata kuliah. Pada akhirnya, memang sih diadakan hari ekstra untuk KRS buat mereka yang KRS di hari pertama. Tetapi, sistemnya adalah nambah, bukan edit. Sehingga mereka yang udah terlanjur asal pungut mata kuliah nggak bisa mengubah pilihannya dan harus menunggu masa edit KRS.
Dahsyatnya KRS ini bahkan sampe kami, EQUILIBRIUM, ulas di bulletin kami: EQ News. Dari sana, saya dapat banyak info bermanfaat terkait KRS :)

KRS Semester 5 (Agustus 2011)
Lagi-lagi, FEB bikin gebrakan baru dalam sejarah per-KRS-an di sini. KRS yang biasanya dijatah dan habis sampe 4 hari, pas ini malah cuman 2 hari dan bisa diakses oleh semua mahasiswa. Semuanya ketar-ketir, takut server masih lambretta, dan buru-buru cari warnet yang koneksinya dewa.
Pas KRS ini, saya sendiri masih setia sama wifi Platinum dan nongkrong di boksnya Esti, yang ada di pojokan deket jendela.
Esti sendiri sempet khawatir kalo bakalan lemot. Solusi dari saya sih gampang: loncat aja dari jendela, kalo KRSnya gagal ;p
Pada akhirnya sukses sih. Malah, saya ngerasa KRS pas itu lancar. Berasa kayak KRS seperti biasanya. KRS yang harusnya mulai jam 8 malem, saya dan Esti malah udah bisa akses sebelumnya. Jam 8 lebih dikit, kami udah beres KRSan. Yang kasian Dito tuh, boks dia bermasalah. KRS dia kurang oke, sampe putus asa gitu *pukpuk*
Oh iya, denger-denger ada beberapa anak yang KRSan pake wifi kampus dan sukses tuh!

KRS Semester 6 (13-16 Februari 2012)
Lha ini nih, yang barusan berlalu. Yang bikin tombol F5 saya melesak saking seringnya dipencet hahahaha
KRS yang barusan juga mirip kayak KRS semester 5: dibuka buat semua anak FEB. Bedanya, yang ini dijadwalkan empat hari.
Jam 7 malem saya nyampe Platinum dan langsung beli voucher wifi. Dan… nggak bisa login :’| bahkan, saya udah ganti voucher sampe tiga kali dan hasilnya sama aja! Sempet pinjem laptop Seya malah, dan hasilnya sama aja.
Ternyata oh ternyata… voucher yang dipake buat saya itu ketiganya belom diregistrasiin sama operator! Ngek. Udah panik-panik gimanaaaa gitu dan ditungguin sama Ade, yang kemakan hasutan saya buat KRSan di Platinum pake laptop.
Jam 8 kurang 10, saya masih setia nge-refresh Sintesis… selama hampir sejam. Serius deh. Semuanya susah masuk! Nggak cuman yang di Platinum, tapi trobelnya merata gitu. Soalnya, pas saya akhirnya bisa KRSan, kelas-kelas dengan dosen yang sekiranya most wanted gitu sisa kuotanya masih banyak gitu.
Dan kayaknya banyak anak angkatan 2011 di Platinum deh. Semua pada panik kayak mau nangis gitu (di telingaku). Sementara saya dan Esti masih aja mencetin tombol F5 dengan kalem, sambil ngelantur kalo masih bisa mlipir ke KUA :’)
KRS kemarin aku nongkrong di area buat wifi, nemenin maba-maba yang pada wifi an juga di sana. Dan selama nunggu Sintesis beres, saya menghabiskan waktu untuk ngakses 9GAG. Agak ngga bener juga sih, soalnya saya jadi sesekali lupa buat refresh :p

Nah, dari pengalaman-pengalaman barusan, bisa saya simpulkan beberapa tips dan trik buat KRSan di FEB UGM:
  1. Jangan pernah lupa buat ngecek mata kuliah ditawarkan dan bikin plan KRS, biar pas KRS enggak blank dan bingung mau ambil apa. Bayangin aja, tiap KRS, kita bisa ditawarin sampe puluhan mata kuliah loh, campuran antara makul wajib dan pilihan. Terakhir, saya malah ditawarin 59 makul pas KRS. Buat yang masih angkatan fresh, bersyukurlah karena biasanya stok dosen untuk satu mata kuliah itu banyak. Lha buat yang udah seumuran saya? Beh, seadanya! Apalagi buat mata kuliah pilihan! Oh iya, buat tambahan aja, kalo abis nyusun plan KRS, sebaiknya bikin prioritas ngeklik. Maksudnya, kalian tentuin makul apa yang harus diklik pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Buat jaga-jaga kalo dosen yang kalian pengen itu most wanted dan banyak rebutannya sih.
  2. Akses Sintesis sejam sebelumnya (kira-kira), login, dan terus refresh halamannya kira-kira tiap 5 menit. Kalo misal server lagi beres kayak dulu-dulu, kita nggak akan kena time out dan otomatis logout. Tapi, kalaupun KRS kayak semester kemarin, buat saya sih minimal ngerasa secured karena paling enggak udah sempet login lah (maksa haha :p)
  3. Jangan. Panik. Serius deh, ini penting banget. Jangan heboh juga, kalo misal kalian udah bisa KRSan. Jadi, jangan langsung teriak, “Udah bisa!” Soalnya, kasian aja sama yang belum bisa. Dia jadi panik kan. Soalnya, mau kalian mengerang atau teriak-teriak kayak apa, kalo server udah lemot ya nggak bakalan bikin server jadi kenceng, kan? Tapi, kayaknya faktor ini memang harus dilatih dan biasanya hanya berlaku buat yang udah angkatan atas (atau yang KRSnya gagal mulu kayak DIba :p)
  4. Jangan ngeklik banyak mata kuliah sekaligus pas KRS. Ini kemarin kejadian ke satu anak angkatan 2011 yang KRS bareng aku. KRS FEB UGM itu, tiap kita klik 1 makul, halaman akan refresh dengan sendirinya. Kalo sukses, nanti tulisan “SKS Pilih” yang ada di atas akan nambah. Nah, kalo kalian langsung borong ngeklik banyak-banyak, bisa jadi yang masuk cuman satu aja atau yang diklik duluan.
  5. Jangan lupa nge-print hasil KRSan. Caranya dengan ngebuka “Check Your Study Plan”. Ini sifatnya buat jaga-jaga sih, in case tiba-tiba apa yang udah kalian pilih tau-tau ngilang gitu dari Study Plan, pas kalian buka keesokan harinya. Denger-denger, kalo protes sambil nunjukin print out dari study plan kalian bisa ngebantu. Untungnya saya nggak pernah ngalamin, tapi saya selalu print tiap KRSan.
  6. Last but not least: Jangan lupa isi kuesioner dosen. Kemarin ada anak 2011 yang kena di sini. Taun kemarin juga, si Nur lupa ngisi. Sejak aku KRS semester 3, kuesioner dosen tuh jadi wajib diisi dan buat syarat untuk KRSan. Kalo kuesioner dosen belum lengkap, ya nggak bisa KRS.
  7. Prioritas KRSmu itu apa? Dosen atau kelas? Dulu pas ngobrol sama staff Akademik, katanya kalo KRS pasti banyak mahasiswa komplain nggak dapet kelas dan dosen yang diinginkan. Jadi, prioritas KRS tuh apa sih: dapet kelas buat kuliah atau dapet dosen yang enak ngasih nilai aja? Saya nggak akan jawab ini, soalnya jawaban tiap orang kan relatif berbeda. Cuman, kalo ngerasa KRS kalian nggak terlalu oke, plis jangan ngumpat-ngumpat ngatain Akademik di message board! Ini ternyata berbuntut panjang loh, ada mahasiswa yang nggak pernah ngata-ngatain Akademik, sekalinya kena masalah, langsung jadi semacem “pelampiasan” staff Akademik. Ini menimpa salah satu temen saya, serius. Dirasain aja, semakin lama kuliah dan semakin sering ngerasain KRS, kalian akan ngerasa kalo koneksi tuh faktor utama buat KRS. Toh, kalau KRS kalian “gagal”, masih ada gitu yang KRSnya lancar. Jadi, ini bukan salah Akademik.
Sekian ya, segini dulu aja dari saya. Semoga bermanfaat (biar saya dapet pahala :p)