Wednesday, December 19, 2012

Potensi dan Sinergi



Potensi dan Sinergi
oleh: Kikin Sakinah Nur Safira
Mahasiswi Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada


     Yogyakarta, sebagai ibukota Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), terkenal akan predikatnya sebagai kota pelajar dan kota budaya. Kentalnya nuansa budaya –terutama tradisional– di sini menjadikan anak budaya sebagai pemikat para wisatawan untuk menikmati uniknya Yogyakarta, dengan Keraton Yogyakarta sebagai pusatnya. Para anak budaya itu adalah berbagai produk kesenian, seperti tari dan musik, hingga kulinernya yang khas seperti gudeg.
     Kayanya legenda, mitos, serta sejarah yang tersebar di penjuru DIY menjadikan berbagai tempat menarik untuk dikunjungi. Selain Keraton, ada pula Benteng Vredeburg, Candi Prambanan, Candi Boko, serta berbagai pantai yang menyebar di garis pantai selatan Yogyakarta. Seluruhnya telah lazim diketahui dan hampir semua telah dikembangkan menjadi objek wisata yang terkelola. Namun, itu saja kah potensi pariwisata yang terdapat di DIY?
     Kata ‘Yogyakarta’, saat ini tidak sekadar merujuk pada wilayah administratif Kotamadya Yogyakarta saja. Yogyakarta telah merujuk pada keseluruhan wilayah DIY, terutama bagi turis maupun pendatang. Misalnya adalah label Yogyakarta sebagai kota pelajar dan terkenal akan Universitas Gadjah Mada (UGM), yang merupakan salah satu universitas terbaik di Indonesia. Pada kenyataannya, UGM secara administratif berada di Kabupaten Sleman.
     Dengan dikenalnya Yogyakarta sebagai kota pelajar, terdapat banyak pendatang dari luar kota yang menuntut ilmu di sini. Banyak dari pelajar yang berusia muda itu, baik pendatang maupun penduduk asli, dibekali dengan kreativitas tinggi. Kentalnya nuansa budaya di Yogyakarta, digabung dengan ide-ide baru nan segar, kerap kali melahirkan konsep kesenian baru, atau yang lebih dikenal sebagai budaya kontemporer.

Seni Kontemporer Saat Ini
     Seni rupa kontemporer, menurut Suwarno Wisetromo, tidak memiliki definisi tunggal. Kurator sekaligus dosen Institut Seni Indonesia ini menambahkan bahwa keberadaan kontemporer “ada karena eksistensi sesuatu yang klasik, yang menjadi tumpuan perkembangan seni tersebut (kontemporer)”. Hal ini dapat dibuktikan dari apa yang seorang pelaku tari terkenal, Didik Nini Thowok, yang tak segan mengembangkan seni tari yang dilakoninya ke dalam kreasi baru yang ia sebut sebagai tari komedi.  Tari komedi ini masih berakar kebudayaan Jawa, namun bersifat ringan, menghibur, dan menceritakan kehidupan sehari-hari. Ia pun memprediksi bahwa tari kontemporer dan tari kreasi baru akan tetap memiliki banyak peminat di masa depan.
     Prediksi ini dapat terbukti nyata dengan membanjirnya ide-ide segar dari para pemuda penikmat dan pekerja seni di Yogyakarta. Dari segi musik, saat ini telah banyak pertunjukan yang menggabungkan musik modern dengan musik tradisional. Salah satu contohnya adalah kelompok musik bernama Hip-Hop Foundation. Pun ada Wayang HipHop yang menggabungkan kesenian wayang dengan musik hip hop, yang didirikan oleh Ki Dalang Catur Benyek Kuncoro.


Potensi yang Memerlukan Atensi
     Menurut Berita Resmi Statistik yang dirilis BPS pada 3 September 2012, rata-rata tamu menginap per hari di Indonesia mengalami penurunan sejak 2010. Namun, jika ditilik pada data per propinsi, rata-rata justru meningkat di DIY. Meskipun rata-rata hari tersebut masih kalah dibandingkan Bali, peningkatan ini dapat disebut sebagai sinyal baik bagi pariwisata DIY. Terlebih, dengan penambahan jumlah hotel di Yogyakarta saat ini, serta konsep MICE (Meeting, Incentive, Conference, Exhibition) oleh Pemerintah Propinsi DIY, diharapkan bahwa waktu tinggal wisatawan dapat ditingkatkan menjadi lebih panjang. Dampaknya, jumlah penghuni di Yogyakarta pun turut bertambah.
     Sinyal baik ini sebenarnya mampu mendukung perkembangan seni kontemporer di Yogyakarta. Para wisatawan tersebut adalah expected consumers atau konsumen harapan atas kesenian tersebut. Sejalan dengan perkembangan seni kontemporer yang dinamis, kesenian kontemporer menjadi tak ada habisnya untuk dinikmati. Setiap tahun, bisa jadi ada seniman-seniman baru muncul dengan ide lain yang tak kalah segar. Pemain lama sendiri banyak yang tak lelah mengembangkan kesenian yang ia tekuni agar tak sekadar memiliki nuansa eksotisme Jawa yang menarik. Namun juga menyajikan sisi kesegaran ide; menjadi sebuah ‘kejutan’ bagi penikmatnya.
      Dengan potensi keduanya yang sama-sama besar, diperlukan adanya atensi lebih seperti promosi. Janganlah para seniman kontemporer ini tak terdengar gaungnya, hanya karena mereka masih muda dengan ‘komoditas’ seni yang tak terlalu mudah diterima penikmat seni pada umumnya. Menurut saya, dengan perkembangan internet saat ini, pemanfaatan situs pemerintah terkait seperti Dinas Pariwisata dapat dijadikan sarana untuk mengenalkan para seniman ini ke dunia luar.
     Pemanfaatan e-government pada Dinas Pariwisata Propinsi DIY dapat dikembangkan lebih jauh dengan adanya basis data para seniman di penjuru DIY. Lebih jauh lagi, mereka diperkenankan untuk memiliki laman profil layaknya jejaring sosial saat ini, sehingga mereka dapat memperbaharui informasi terkait jadwal pertunjukan maupun pameran seni mereka. Harapannya, informasi tersebut dapat dimanfaatkan bagi para wisatawan dalam merencanakan kunjungan mereka selama di Yogyakarta, terutama yang terkait dengan kesenian.

Yang Juga Perlu Diperhatikan
     Pengembangan pariwisata juga tidak lepas dari fungsi lainnya. Yang hendak saya soroti di sini adalah transportasi di Yogyakarta, terutama transportasi umum, yang menurut saya belum menunjang sisi pariwisata.
     Sebagai pengguna jasa transportasi umum dalam kehidupan sehari-hari, pernah saya dapati kondektur angkutan umum yang tidak mau mengangkut wisatawan mancanegara (wisman). Padahal, wisman tersebut jelas-jelas sudah mencegat bus. Pernah juga saya dapati pramugara bus hijau yang saya anggap kurang membantu seorang wisman, yang kebingungan harus turun di halte mana agar dia bisa meneruskan perjalanan menuju Pantai Samas. Ketika saya konfirmasi pada pramugara tersebut, ia berkata, “Sudah, Mbak. Sudah saya bilang, ‘Don’t worry,’ gitu.” Mungkin ia memang memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi menggunakan bahasa asing, minimal bahasa Inggris. Namun, tindakan yang ia berikan pada wisman tersebut terbukti tidak solutif, hingga saya yang harus menjelaskan bahwa ia harus turun di halte ke berapa dari Malioboro agar bisa melanjutkan perjalanan.
     Bagi saya, perbaikan pada sektor transportasi umum ini memerlukan reformasi besar-besaran. Memang, bus hijau melayani jauh lebih baik dibandingkan bus kota lainnya. Calon penumpang dapat memeroleh informasi melalui halte perihal trayek yang perlu ditempuh untuk mencapai tujuan. Namun, segi layanan perlu diasah lebih tajam. Sumber daya manusia harus dibekali kemampuan berbahasa asing yang memadai untuk menghadapi wisatawan asing, minimal percakapan singkat dalam memberikan informasi perihal bagaimana wisatawan tersebut dapat mencapai lokasi tujuan.
     Selain itu, dalam keterkaitan ide mengenai pemanfaatan situs Dinas Pariwisata dalam menunjang seni kontemporer pada poin sebelumnya, perlu diberikan informasi perihal moda transportasi apa yang dapat ditempuh untuk mencapai lokasi. Menurut saya, hal ini perlu karena sering kali lokasi pementasan atau pameran mengambil tempat bukan di area perkotaan.

Sinergi
     Tak pelak, peningkatan jumlah wisatawan, baik asing maupun lokal, semestinya didukung dengan fasilitas transportasi maupun akomodasi yang memadai. Terlebih, keinginan untuk meningkatkan lama waktu wisatawan tinggal di Yogyakarta melalui MICE tentunya menuntut urgensi kelayakan infrastruktur penunjang.
     Dukungan pada transportasi akan membantu mereduksi kepadatan jalan. Bila tidak, pemandangan mobil-mobil pribadi yang berjejalan di jalanan juga tetap akan menjadi pemandangan lazim kala musim liburan. Kemacetan ini pun mengurangi efisiensi angkutan umum, terlebih bus hijau yang mempergunakan subsidi, serta mengurangi kenyamanan saat tinggal di Yogyakarta.
    Bagaimana rupa pariwisata Yogyakarta tidak dapat ditentukan dari cetak biru milik Dinas Pariwisata semata. Diperlukan adanya sinergi, yang diawali dari perbaikan infratruktur dan sumber daya manusia yang dapat bersinggungan dengan sektor pariwisata, agar pariwisata Yogyakarta terus berkembang mengikuti dinamika zaman tanpa harus melepaskan akar tradisionalnya. Selain itu, tak sekadar dukungan moral, dukungan finansial pun perlu digenjot untuk membesarkan kesenian kontemporer ini. Gelaran seni seperti Biennale, ART|JOG, dan semacamnya perlu didukung lebih serius. Jangan sampai pemerintah kalah oleh salah satu yayasan yang juga bergerak di bidang kesenian, yang rajin mensponsori berbagai acara seni tak hanya di Yogyakarta tapi juga di skala nasional.



REFERENSI
Adikta, D.D. dan Nurdiana, S.R., 2011. “Rupa Berhiaskan Harapan”. Equilibrium, No. XIII, 2011, h.
        45-46.
Badan Pusat Statistik, 2012. Berita Resmi Statistik No. 58/09/Th. XV, 3 September 2012. [pdf] Jakarta: Badan Pusat Statistik. Tersedia di: www.bps.go.id/brs_file/pariwisata_03sep12.pdf [diakses pada 18 Desember 2012].
Maharini, E. dan Indri, M., 2011. “Tari Kreasi Baru: Wujud Kebebasan Berakar Tradisi.”. Equilibrium,
        No. XIII, 2011, h. 47-48.
P. A. Kemal, et al., 2012. “ Menengok Rapor Merah, Menelisik Masalah.” Equilibrium, No. XIV, 2012,
        h. 18-20.