Monday, April 18, 2011

Meong yang Terbuang

Saya pengen pelihara kucing.

Itu keinginan yang selama sekitar tujuh tahun ini sulit untuk diwujudkan, mengingat terakhir kali saya memungut dua anak kucing terlantar, mereka adalah dua ekor makhluk yang hobi pup sembarangan. Imbasnya, jadilah saya yang didamprat oleh orang-orang serumah guna mempertanggung jawabkan hasil perbuatan dua anak pungut saya itu. Dan sejak saat itu, memelihara kucing seolah menjadi impian tak terwujud.

Namun, beberapa hari yang lalu secara tiba-tiba, tanpa angin tanpa hujan, serasa ada hujan duit, saya diperbolehkan memelihara kucing lagi. Dan kebetulan juga, teman imut saya si Mira yang punya banyak kucing, baru saja ketiban tiga ekor bayi kucing hasil peranakan salah satu kucingnya. Salah satunya yang jantan sudah saya incar untuk menjadi kesayangan baru saya~ :3
Sayangnya saya masih harus menunggu sekitar 2-3 bulan hingga akhirnya si bayi kucing diperbolehkan berpisah dari induknya dan pergi ke pelukan saya >//////<


Kucing idaman saya :")


Nah, beberapa hari yang lalu, saya menemukan seekor kucing berwarna putih dengan ekor lurus berbulu hitam. Lucuuuuuuuuuuu!! Waktu saya turun dari shelter Trans Jogja, tiba-tiba saya mendengar suara meong meong dan menemukan si kucing putih itu sedang duduk memandangi saya. Nggemesin banget aaaa  x"3

Dengan penuh gelora, saya tuntun si kucing itu untuk mengikuti saya dengan niatan akan saya beri makan dan saya pelihara. Ketika saya dan si kucing sudah mau sampai di mulut gang yang ada di belakang SD saya, si kucing tiba-tiba berhenti mengikuti saya. Dia... seperti takut meninggalkan tempat itu.
Saking ngebetnya punya kucing, si kucing putih saya tungguin sampe dia mau ngikutin saya lagi. Selama nungguin si kucing, dua kali muncul sosok manusia dari kejauhan yang memandangi si kucing. Di kepala saya, terbersit cerita ini...

Meong yang Terbuang

Si Kucing Putih, alias si Meong, sudah menggelandang selama bertahun-tahun. Mengais sampah sudah menjadi kesehariannya demi mengganjal perut yang keroncongan. Siapa orang tuanya, ia tak pernah tahu. Yang ia tahu, dunia tidak pernah bersikap lunak dan butuh keteguhan hati untuk menghadapinya. Teman adalah lalat-lalat yang ikut mengerumuni makanannya. Taring dan cakar adalah pelindungnya.

Di suatu tempat, berkilo-kilometer dari Jogja, terdapat seekor kucing konglomerat bernama Empus. Ibarat Paman Gober yang hobi berenang di kolam uang, si Empus ini memiliki kolam sarden. Kendati hidupnya bergelimang sarden, tak ada yang tahu ia memiliki sebuah lubang besar yang menganga di dalam hatinya...

Beberapa tahun yang lalu, istri Empus mati setelah melahirkan lima ekor bayi kucing. Dari lima itu, hanya satu yang dapat bertahan hidup. Sisanya mati karena virus. Dengan hati penuh duka, Empus berjanji akan mendedikasikan hidupnya untuk menjaga satu-satunya anaknya yang masih hidup, yang ia beri nama Meong.

Nestapa seolah tak berhenti menerpa kehidupan Empus. Selang seminggu setelah kematian istri dan empat anaknya, Meong diculik oleh sosok tak dikenal. Kejadian itu terjadi begitu saja; Empus sejenak meninggalkan Meong di atas buaiannya yang ada di halaman rumahnya demi mengambil sebotol susu untuk Meong yang rewel kelaparan. Ketika ia kembali, Meong sudah lenyap...

Yang tidak Empus ketahui, Meong diculik oleh sekor kucing jahat bernama Pupus. Pupus adalah kucing preman yang menguasai jalanan Jogja; semua kucing gelandangan tunduk padanya. Pupus dan pemiliknya sering menculik anak-anak kecil, manusia maupun kucing, untuk dipaksa bekerja demi mereka. Mencuri, mengemis, dan sebagainya. Dan kehidupan keras Meong di jalanan pun dimulai sejak saat itu...

(bersambung)

Ya begitulah. Mungkin suatu saat akan saya lanjutkan cerita tak bermutu ini. Semoga anda tidak geram dan ingin memukul saya.
Terimakasih, salam meong meong :3