Saturday, February 19, 2011

We are Only Two Strangers.

Kebetulan kah, atau memang waktunya?



Kita berdua, aku dan kamu, bertemu di saat yang... entah mengapa, aku sebut tepat. Padahal sebelumnya kita adalah dua orang asing yang hanya saling tahu nama. Dan kemudian, kita saling menyapa. Seolah begitu saja berpapasan di trotoar, bersisipan di lautan pejalan kaki yang menjejali Malioboro pada suatu sore. Kata "Halo!" pun terlontar, ditambah seulas senyum. Ramah, mungkin mungkin segan. Dan... ah, sedikit malu.

Sebuah perbincangan di trotoar, yang terjadi karena sebuah celetukan tak bermaksud banyak, membuka banyak perbincangan lainnya. Kata yang terucap semakin banyak, diselingi sedikit lelucon malu-malu, dan akhirnya berbuah tawa. Wajah cerah, secerah sore itu dengan langit yang mulai merona jingga keemasan di ufuk barat.

Tidak ada perbincangan intim. Percakapan basa-basi, mungkin. Tetapi, tawaku saat itu bukan untuk sekedar sopan santun.Sore itu, pertama kali aku menyadari ada sesuatu yang... 'pas' yang aku temukan. Seolah menemukan kepingan puzzle yang hilang. Hanya saja kau tak perlu tahu. Karena belum tentu kau yang akan melengkapinya.

Meskipun begitu, mataku menangkap setiap detik, setiap kedipan mata, setiap gerakan yang kita lakukan sepanjang perbincangan itu. 'Momen kita'. Ada sebuah rasa hangat dan nyaman yang muncul. Mungkin karena kepingan yang kutemukan itu. Atau mungkin hal yang lain...

Lantas aku tertawa.
'Momen kita' bukanlah gambaran yang pas untuk menyebutkan perbincangan itu. Tapi tak kunjung aku temukan istilah lain, karena bagaimanapun, di saat 'momen kita' seolah hanya aku, kamu, Tuhan, dan udara yang tahu apa yang terjadi. Ada sebuah ikatan. Yang, meskipun tipis dan rapuh, tapi sepertinya sempat menyentuh masing-masing diri kira berdua.

Ratusan, atau bahkan ribuan kata yang kita lontarkan pada sekian episode percakapan tersebut, ternyata hanya menyita waktu sekejap. Percakapan harus segera diakhiri. Saatnya kau pergi dan beranjak menuju tujuanmu, yang tak pernah aku tahu apa itu. Pun dengan aku. Kita bisa memilih untuk tinggal; mungkin kau tidak akan dan aku akan tinggal. Atau sebaliknya. Namun, sepertinya kita berdua memilih untuk berlalu. Menganggap seolah percakapan di sore itu: di bawah bayang-bayang Gedung Agung yang semakin memanjang ke arah timur, di trotoar Malioboro, di tengah lautan pejalan kaki, memang hanya sesingkat sapaan "Halo!" dariku. Atau darimu. Dan kemudian kita pergi, kembali sebagai dua orang asing yang hanya bertemu jika waktu mengizinkan.

Dari sekian banyak orang asing yang singgah, beberapa tinggal sebagai keluarga, teman, sahabat, atau bahkan seteru. Banyak lagi yang memilih untuk berlalu. Mungkin kau salah satunya.