30
Agustus 2012 silam adalah kali kedua saya menyaksikan pentas Papermoon Puppet
Theatre. Lakon yang diambil kali ini berjudul Mwathirika, diambil dari bahasa Swahili,
yang berarti ‘korban’. Kali ini, saya menyaksikannya bersama Ana, Diba, dan
Yoga, bocah tengil redaksi sekaligus mahasiswa jurusan Akuntansi 2011. Sayang
seribu sayang, Faradilla yang menemani saya saat menyaksikan Setjangkir Kopi
dari Plaja harus absen lantaran sedang menghadapi realita kehidupan berupa
cacar air.
***
Baba,
Tupu, Moyo, Haki, dan Lacuna. Tidak ada yang salah dengan kehidupan mereka.
Tidak ada yang salah dengan Baba, sosok pria bertangan-satu yang begitu
menyayangi Tupu dan Moyo. Tidak ada yang salah dengan Haki serta Lacuna yang
berkursi-roda. Pun tidak dengan peluit merah yang dikalungkan di leher Moyo
serta Tupu.
Alkisah,
mereka hidup di zaman pemberontakan PKI.
Lantas,
segitiga merah ditorehkan di jendela rumah mungil Baba, yang menyebabkan Haki
tetiba berubah perangainya; menjauhi keluarga Baba dan melarang Lacuna bermain
dengan Tupu. Kemudian, Baba dibawa pergi sosok-sosok bertopi hijau yang
menentengi senjata api berlaras panjang.
Bilang
saya cengeng atau kelewat sensitif, namun air mata saya tak bisa ditahan sejak
Baba digiring pergi oleh para sosok-bertopi-hijau tersebut. Sejak Baba harus
memperbaiki dulu mainan kuda-kudaan Tupu. Sejak Baba menciumi dahi Tupu dan
Moyo. Dan air mata saya tidak berhenti mengalir sejak itu.
Tupu |
Saya
ingin ketiganya hidup bahagia, pada masa tiupan peluit merah Tupu tidak perlu
terdengar begitu memilukan…
Dan
pada masa ketika saya tidak perlu takut melihat Lacuna meniup peluit Tupu.
***
Belum
pernah saya mendengar suara peluit yang terdengar begitu memilukan, hingga
akhirnya saya menyaksikan Mwathirika. Apakah Baba, Tupu, Moyo, Haki, dan Lacuna
benar adalah ‘korban’ dari apa yang diperangi negara? Atau mereka sekadar
‘korban’ dari waktu; mereka ‘hanya’ hidup di masa yang salah, ketika Baba,
Tupu, dan Moyo sama sekali tidak paham mengapa harus ada segitiga merah yang
tertoreh di rumah mungil mereka serta Haki hanya paham bahwa segitiga merah
tersebut adalah tanda bahwa si empunya rumah harus dihindari.
Perasaan,
bagi saya, adalah bahasa universal. Tak perlu banyak kata, tak perlu banyak
dialog nan klise. Mood yang dibangun
sepanjang pertunjukan Papermoon ini adalah bahasanya, adalah dialognya. Musik, setting, alur cerita, pencahayaan. Karenanya, saya sangat yakin
pementasan-pementasan Papermoon akan sukses meski ditampilkan di luar negeri.
Termasuk di Negeri Paman Sam bulan September ini.
Saya
berjanji, ini bukan pementasan terakhir yang saya saksikan. Mwathirika ini akan
menjadi yang kedua dari sekian pementasan Papermoon Puppet Theatre di masa
depan yang akan saya tonton kelak!
Hanya
sayang, pada pementasan ini saya tidak membawa kamera :(
0 comments:
Post a Comment