Thursday, May 26, 2011

Empat dan Dua

Ujian akhir semester sudah di depan mata. Dan apabila saya sukses menerjang badai yang menghadang tersebut, maka saya resmi telah menempuh studi selama dua tahun di akuntansi. Sebuah pencapaian bagi diri saya sendiri; sekarang pun saya masih takjub dengan diri saya yang mampu bertahan hingga sekarang.

Kawan-kawan di sekitar saya mungkin akan merasa cukup heran apabila mendengar saya, sejujurnya, tidak terlalu berminat kuliah di bidang akuntansi. Terlalu sering mereka mendengar saya yang menjawab dengan (mungkin) mantab ketika ditanyai, "Besok mau kuliah di mana?" ketika saya masih abege berseragam putih-abu. Akan tetapi, pada masa-masa itu, bukannya saya tidak pernah galau. Ada benturan antara permintaan (jika tidak ingin disebut dengan tuntutan) dari keluarga dengan impian saya pribadi yang mendamba menjadi mahasiswa ilmu hukum di bangku kuliah. Dan akhirnya, saya memilih menceburkan diri ke bidang studi akuntansi, dengan saran dari seorang guru bernama Pak Pur. Beliau berkata, "Jalani saja dulu apa mau keluargamu. Kalau nanti sudah lulus, silahkan berbuat semaumu." Dan dengan penuh rasa syukur, selama empat semester ini saya mengalami yang mungkin bisa saya sebut sebagai keajaiban restu orang tua. Entah bagaimana caranya, setiap saya merasa ingin menyerah berusaha dan terbentur suatu masalah, tiba-tiba jalan keluar muncul dan saya bisa menyelamatkan diri entah dari IP yang berantakan atau semacamnya.

Beberapa hari ini, entah mengapa saya tergerak untuk mengevaluasi diri sendiri: apa yang sudah saya lakukan sejauh ini demi memenuhi permintaan keluarga. Rencana untuk lulus dalam kurun empat tahun dengan IPK cum laude tampaknya bisa terwujud. Semakin saya ingat-ingat dan saya rasa, satu pertanyaan kemudian muncul di benak saya.

"Apakah saya senang?"

Satu pertanyaan itu cukup sederhana. Pun sangat mengena.
Jujur, saya bingung jika harus menjawab pertanyaan itu. Bukannya saya tidak tahu apa definisi kata 'senang' atau 'bahagia'. Tetapi, saya memang tidak tahu harus menjawab apa, karena saya sendiri tidak tahu apa perasaan saya sebenarnya.

Empat semester saya jalani dengan hampa. Tidak ada rasa kelewat puas menanggapi hasil baik, pun rasa gundah kala terhadang oleh halangan. Semua seperti tidak terjadi apa-apa. Biasa saja. Bahkan upaya keras yang dilakukan demi memperoleh nilai baik dari dosen yang terkenal sulit memberi nilai sempurna pun dilakukan tanpa motivasi ekstra. Seolah semua hanya kewajiban yang harus saya lakukan.

Semakin lama saya berkutat di sini, semakin sering saya temui kawan yang turut mempelajari bidang yang sama dan tanpa rasa cinta. Alasan seperti, "Karena disuruh orang tua," ketika ditanyai alasan mengapa memilih jurusan akuntansi seperti sudah jamak dan lumrah. Saya pun sadar: saya belum pernah bertemu kawan yang mencintai akuntansi.

Titah orang tua memang sulit dilawan, atau cap "durhaka" akan melayang dan menempel di wajah. Seperti pendosa. Akuntansi, yang dijalani dengan setengah — atau malah seperempat, seperdelapan? — hati, dianggap sebagai gerbang menuju masa depan yang cerah. Orang tua mana yang tak ingin anaknya jadi orang sukses? Akuntansi dibutuhkan di semua perusahaan. Mungkin alasan itu pula yang membuat bidang ini begitu laris manis diburu para calon mahasiswa baru.

Kian lama, saya merasakan ada sesuatu yang vital cenderung menjadi sesuatu yang sering diabaikan: hati. Meskipun berpeluh, hati saya akan selalu hampa dalam usaha untuk mencapai nilai sempurna, yang dilakukan bukan untuk diri sendiri. Bukan untuk memuaskan diri sendiri.

Saya tahu, suatu hari nanti saya akan berkarir, entah di bidang apa. Mungkin akuntansi, mungkin tidak. Yang saya takutkan adalah ketika saya memilih sebuah karir, yang di mana saya lagi-lagi tak bisa memilih, lagi-lagi saya harus membuat hati saya hampa selama bertahun-tahun. Puluhan tahun, mungkin. Dan tampaknya satu-satunya cara adalah saya harus belajar untuk segera mencintai bidang ini, atau saya akan membuat hati saya menderita di masa depan. Saya merasa bersalah pada diri sendiri..

Itulah, mengapa saya cenderung iri dengan mereka yang bisa merasakan senang dan susah dalam menghadapi dunia kuliah karena mereka memiliki privilege untuk memilih bidang apa yang ditekuni. Sekali lagi, mereka melibatkan hati untuk melalui semuanya. Dan keajaiban apapun yang ditimbulkan dari restu orang tua, tidak akan mampu menandingi indahnya kehidupan yang dijalani dengan rasa ikhlas.


Seorang kawan, Hariadi Adhari, mengometari saya yang sepertinya terlalu strict dengan diri saya sendiri, apabila berkaitan dengan kuliah. Dia menyarankan pada saya untuk sedikit 'melonggarkan' batasan yang saya terapkan pada diri sendiri. Diba pun mengiyakan. Dan Dito berkata, "Kita cuman muda dan jadi mahasiswa sekali."

Guess I'd rather hurt than feel nothing at all...
—Lady Antebellum

Pada akhirnya, saya hanya ingin menyampaikan bahwa memiliki kesempatan untuk bergumul dalam hal-hal yang dicintai adalah sebuah keistimewaan yang luar biasa :)

0 comments:

Post a Comment