Rasanya... ermmm... biasa aja sih. Nggak pake semriwing atau apapun. Saya juga (alhamdulillah) nggak dikerjain sama temen-temen. Tapi, tetep aja... Dua puluh. Duh, gimana ya jelasinnya?
Pernah saya ngobrol dengan kawan-masa-kecil-yang-masih-awet-sampe-sekarang alias Iffa. Ya, berhubung dia yang lebih dulu mendekati angka itu dibanding saya gitu. Dan kami sepakat bahwa: biarpun cuman beda setahun sama angka 19, tetep aja 20 itu rasanya beda!
Well, dan beginilah cara saya menghabiskan hari di mana saya akhirnya menginjak usia berawalan angka dua ini:
1. Kuliah. Pengauditan I dan Akuntansi Sektor Publik. Untuk ASP, saya berterima kasih pada kakak-kakak asdos yang telah memberi 'kado' istimewa berupa tugas essay sebanyak 3 buah. Yak, di hari pertama kuliah. Oh, jangan lupa juga kuis yang membuat saya harus menggali kembali memori kuliah AP 1 -- yang notabene sudah 2 tahun yang lalu. Joss.
2. Rapat tema buletin EQ News bulan Oktober. Tapi, karena yang hadir tidak sesuai harapan, akhirnya diisi dengan evaluasi EQ News edisi maba.
3. Rapat persiapan Ayam GeprEQ dalam rangka bazaar kewirausahaan. Anyway, we sold lots ayam geprek! Yayy :D/
Nggak ada kumpul di rumah sore-sore, beli kue, dan tancepin lilin yang kemudian ditiup bersama-sama. Sudah tepat tiga tahun saya nggak merasakan momen ulang tahun seperti itu. Sedih sih, tapi mau gimana lagi :|
Well... sebenarnya bukan angka 20 yang membuat saya 'takut'. Hanya saja, saya takut bertambah tua.
Suwer.
Ya mungkin rasa takut saya nggak seekstrim Elizabeth Bathory, yang sampai bermandikan darah perawan untuk mempertahankan kemudaannya. Nggak kok, saya lebih percaya bahwa makan adalah rahasia umur panjang.
Yang lebih saya takutkan adalah: saya berhenti bermimpi.
Yep, mimpi.
Meskipun seorang teman pernah membaca telapak tangan saya dan mengatakan bahwa saya adalah seseorang yang realistis -- dan saya percaya itu -- tetapi bermimpi itu tetap menjadi salah satu alasan mengapa saya masih menginjakkan kaki di Bumi. Saya yakin bahwa secuil mimpi suatu saat akan menjadi realita seseorang sampai ia mati.
Dengan mimpi-mimpi saya yang hanya secuil, atau malah hanya berupa bercak bila dibandingkan dengan betapa kuatnya saya menginjakkan kaki pada kenyataan, apa jadinya jika saya harus berhenti memimpikan sesuatu?
Saya takut.
Sebuah kutipan dari Memoar Seorang Geisha mengatakan:
Impian itu seperti hiasan rambut. Gadis muda akan terlihat cantik bila mengenakannya banyak-banyak. Namun, ketika kau tua, kau bahkan akan merasa bodoh bila hanya mengenakan satu saja.Tidak dikutip secara persis, sih. Tapi begitulah intinya.
Pun dengan apa yang Paulo Coelho goreskan dalam Sang Alkemis melalui sosok Si Penjual Gelas Kaca, tempat Santiago bernaung sementara setelah ia kehilangan semua uangnya, padahal ia baru saja sebentar menginjakkan kakinya di Afrika.
Mungkin suatu hari saya akan harus berhenti bermimpi. Atau malah saya akan terus bermimpi.
Yang saya mau adalah saat-saat ketika saya berhenti tersebut adalah karena sudah tak ada lagi yang bisa saya mimpikan.
Tapi, apakah bisa?
Manusia bisa memimpikan semua hal. Termasuk, "Saya ingin makan ayam geprek besok siang," atau, "Besok saya ingin mengurangi cemilan."
Mungkin mimpi memang selalu menjadi bagian dari realita.
Atau sebenarnya, realitalah yang menjadi bagian dari mimpi.
1 comments:
I love your post, Kak! :'D Tahun ini saya menyentuh angka itu. Dan saya merasakan hal yang sama..
Post a Comment