Saya selalu meyakini
bahwa saya tidak berada pada posisi yang dapat mengajukan tawaran. Bayangkan
kurva pemintaan dan penawaran dalam ekonomi; posisi saya, bagi saya, adalah
anomali. Nyaris serupa dengan pasar persaingan tak sempurna, hanya saja di sini
tidak ada pihak yang menawarkan. Dan bagaimana saya bisa mengajukan tawaran,
jika “pasar” bagi saya saja tak tersedia? Haruskah saya menghabiskan waktu
menunggu agar kurva tersebut berfungsi senormalnya?
Berbicara soal
menunggu, saya memiliki perasaan yang aneh soal ini. Selama ini, saya merasa
saya terlalu lama menunggu. Dan akhirnya, saya lelah sendiri. Bahwa apa yang
selama ini saya dapatkan dari usaha menunggu itu sendiri membuat saya berpikir
bahwa selama ini saya membuang waktu.
Ya, saya tahu hidup
adalah rimba ketidakpastian dan ketidaktahuan. Dan manusia yang tak siap
menjelajahi rimba itu, bagi saya, adalah pengecut. Dan saya kali ini berani
mencap diri saya pengecut lantaran saya tak ingin berlarut dalam rimba tersebut
dengan cara menunggu. Terserah apa yang saya tunggu itu justru kelak akan
datang ketika saya baru saja memutuskan bahwa saya akan telah beranjak pergi;
terlambat adalah terlambat, dan itulah takdir yang kita upayakan sendiri.
Saya hanya tak ingin
menghabiskan waktu terlalu lama untuk menunggu, selama saya masih bisa menangis
karena hati saya yang sedih. Semua orang tentu ingin bahagia, dan saya harus
bisa mendapatkan kebahagiaan saya sendiri.
Orang-orang tak ingin
menghabiskan hidupnya sendirian saja. Dan meskipun saya terkadang sering merasa
terlalu muda—dan di satu waktu saya akan merasa saya sudah cukup dewasa—untuk
memutuskan ini, saya memutuskan bahwa selamanya saya harus berkawan dengan diri sendiri. Karena dialah sosok yang akan paling setia menemani saya, bahkan ketika daging saya habis dikoyak
cacing-cacing penghuni liang tempat manusia nanti membusuk dengan sebongkah
batu berukir sebuah nama.