Potensi dan Sinergi
oleh: Kikin Sakinah Nur Safira
Mahasiswi Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta,
sebagai ibukota Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), terkenal akan predikatnya
sebagai kota pelajar dan kota budaya. Kentalnya nuansa budaya –terutama tradisional–
di sini menjadikan anak budaya sebagai pemikat para wisatawan untuk menikmati
uniknya Yogyakarta, dengan Keraton Yogyakarta sebagai pusatnya. Para anak
budaya itu adalah berbagai produk kesenian, seperti tari dan musik, hingga
kulinernya yang khas seperti gudeg.
Kayanya legenda, mitos, serta
sejarah yang tersebar di penjuru DIY menjadikan berbagai tempat menarik untuk
dikunjungi. Selain Keraton, ada pula Benteng Vredeburg, Candi Prambanan, Candi
Boko, serta berbagai pantai yang menyebar di garis pantai selatan Yogyakarta.
Seluruhnya telah lazim diketahui dan hampir semua telah dikembangkan menjadi
objek wisata yang terkelola. Namun, itu saja kah potensi pariwisata yang
terdapat di DIY?
Kata ‘Yogyakarta’, saat ini
tidak sekadar merujuk pada wilayah administratif Kotamadya Yogyakarta saja.
Yogyakarta telah merujuk pada keseluruhan wilayah DIY, terutama bagi turis
maupun pendatang. Misalnya adalah label Yogyakarta sebagai kota pelajar dan
terkenal akan Universitas Gadjah Mada (UGM), yang merupakan salah satu
universitas terbaik di Indonesia. Pada kenyataannya, UGM secara administratif
berada di Kabupaten Sleman.
Dengan dikenalnya Yogyakarta
sebagai kota pelajar, terdapat banyak pendatang dari luar kota yang menuntut
ilmu di sini. Banyak dari pelajar yang berusia muda itu, baik pendatang maupun
penduduk asli, dibekali dengan kreativitas tinggi. Kentalnya nuansa budaya di
Yogyakarta, digabung dengan ide-ide baru nan segar, kerap kali melahirkan
konsep kesenian baru, atau yang lebih dikenal sebagai budaya kontemporer.
Seni Kontemporer Saat Ini
Seni rupa kontemporer, menurut
Suwarno Wisetromo, tidak memiliki definisi tunggal. Kurator sekaligus dosen
Institut Seni Indonesia ini menambahkan bahwa keberadaan kontemporer “ada
karena eksistensi sesuatu yang klasik, yang menjadi tumpuan perkembangan seni
tersebut (kontemporer)”. Hal ini dapat dibuktikan dari apa yang seorang pelaku
tari terkenal, Didik Nini Thowok, yang tak segan mengembangkan seni tari yang
dilakoninya ke dalam kreasi baru yang ia sebut sebagai tari komedi. Tari komedi ini masih berakar kebudayaan Jawa,
namun bersifat ringan, menghibur, dan menceritakan kehidupan sehari-hari. Ia pun
memprediksi bahwa tari kontemporer dan tari kreasi baru akan tetap memiliki
banyak peminat di masa depan.
Prediksi ini dapat terbukti
nyata dengan membanjirnya ide-ide segar dari para pemuda penikmat dan pekerja
seni di Yogyakarta. Dari segi musik, saat ini telah banyak pertunjukan yang
menggabungkan musik modern dengan musik tradisional. Salah satu contohnya adalah
kelompok musik bernama Hip-Hop Foundation. Pun ada Wayang HipHop yang
menggabungkan kesenian wayang dengan musik hip
hop, yang didirikan oleh Ki Dalang Catur Benyek Kuncoro.
Potensi yang Memerlukan Atensi
Menurut Berita Resmi Statistik yang dirilis BPS pada 3 September
2012, rata-rata tamu menginap per hari di Indonesia mengalami penurunan sejak
2010. Namun, jika ditilik pada data per propinsi, rata-rata justru meningkat di
DIY. Meskipun rata-rata hari tersebut masih kalah dibandingkan Bali,
peningkatan ini dapat disebut sebagai sinyal baik bagi pariwisata DIY.
Terlebih, dengan penambahan jumlah hotel di Yogyakarta saat ini, serta konsep
MICE (Meeting, Incentive, Conference,
Exhibition) oleh Pemerintah Propinsi DIY, diharapkan bahwa waktu tinggal
wisatawan dapat ditingkatkan menjadi lebih panjang. Dampaknya, jumlah penghuni
di Yogyakarta pun turut bertambah.
Sinyal baik ini sebenarnya mampu
mendukung perkembangan seni kontemporer di Yogyakarta. Para wisatawan tersebut adalah
expected consumers atau konsumen
harapan atas kesenian tersebut. Sejalan dengan perkembangan seni kontemporer
yang dinamis, kesenian kontemporer menjadi tak ada habisnya untuk dinikmati. Setiap
tahun, bisa jadi ada seniman-seniman baru muncul dengan ide lain yang tak kalah
segar. Pemain lama sendiri banyak yang tak lelah mengembangkan kesenian yang ia
tekuni agar tak sekadar memiliki nuansa eksotisme Jawa yang menarik. Namun juga
menyajikan sisi kesegaran ide; menjadi sebuah ‘kejutan’ bagi penikmatnya.
Dengan potensi keduanya yang
sama-sama besar, diperlukan adanya atensi lebih seperti promosi. Janganlah para
seniman kontemporer ini tak terdengar gaungnya, hanya karena mereka masih muda
dengan ‘komoditas’ seni yang tak terlalu mudah diterima penikmat seni pada
umumnya. Menurut saya, dengan perkembangan internet saat ini, pemanfaatan situs
pemerintah terkait seperti Dinas Pariwisata dapat dijadikan sarana untuk
mengenalkan para seniman ini ke dunia luar.
Pemanfaatan e-government pada Dinas Pariwisata Propinsi DIY dapat dikembangkan
lebih jauh dengan adanya basis data para seniman di penjuru DIY. Lebih jauh
lagi, mereka diperkenankan untuk memiliki laman profil layaknya jejaring sosial
saat ini, sehingga mereka dapat memperbaharui informasi terkait jadwal pertunjukan
maupun pameran seni mereka. Harapannya, informasi tersebut dapat dimanfaatkan
bagi para wisatawan dalam merencanakan kunjungan mereka selama di Yogyakarta,
terutama yang terkait dengan kesenian.
Yang Juga Perlu Diperhatikan
Pengembangan pariwisata juga
tidak lepas dari fungsi lainnya. Yang hendak saya soroti di sini adalah
transportasi di Yogyakarta, terutama transportasi umum, yang menurut saya belum
menunjang sisi pariwisata.
Sebagai pengguna jasa
transportasi umum dalam kehidupan sehari-hari, pernah saya dapati kondektur
angkutan umum yang tidak mau mengangkut wisatawan mancanegara (wisman).
Padahal, wisman tersebut jelas-jelas sudah mencegat bus. Pernah juga saya
dapati pramugara bus hijau yang saya anggap kurang membantu seorang wisman,
yang kebingungan harus turun di halte mana agar dia bisa meneruskan perjalanan
menuju Pantai Samas. Ketika saya konfirmasi pada pramugara tersebut, ia
berkata, “Sudah, Mbak. Sudah saya bilang, ‘Don’t
worry,’ gitu.” Mungkin ia memang
memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi menggunakan bahasa asing, minimal
bahasa Inggris. Namun, tindakan yang ia berikan pada wisman tersebut terbukti
tidak solutif, hingga saya yang harus menjelaskan bahwa ia harus turun di halte
ke berapa dari Malioboro agar bisa melanjutkan perjalanan.
Bagi saya, perbaikan pada sektor transportasi
umum ini memerlukan reformasi besar-besaran. Memang, bus hijau melayani jauh
lebih baik dibandingkan bus kota lainnya. Calon penumpang dapat memeroleh
informasi melalui halte perihal trayek yang perlu ditempuh untuk mencapai
tujuan. Namun, segi layanan perlu diasah lebih tajam. Sumber daya manusia harus
dibekali kemampuan berbahasa asing yang memadai untuk menghadapi wisatawan
asing, minimal percakapan singkat dalam memberikan informasi perihal bagaimana
wisatawan tersebut dapat mencapai lokasi tujuan.
Selain itu, dalam keterkaitan
ide mengenai pemanfaatan situs Dinas Pariwisata dalam menunjang seni
kontemporer pada poin sebelumnya, perlu diberikan informasi perihal moda
transportasi apa yang dapat ditempuh untuk mencapai lokasi. Menurut saya, hal
ini perlu karena sering kali lokasi pementasan atau pameran mengambil tempat bukan
di area perkotaan.
Sinergi
Tak pelak, peningkatan jumlah
wisatawan, baik asing maupun lokal, semestinya didukung dengan fasilitas
transportasi maupun akomodasi yang memadai. Terlebih, keinginan untuk
meningkatkan lama waktu wisatawan tinggal di Yogyakarta melalui MICE tentunya
menuntut urgensi kelayakan infrastruktur penunjang.
Dukungan pada transportasi akan
membantu mereduksi kepadatan jalan. Bila tidak, pemandangan mobil-mobil pribadi
yang berjejalan di jalanan juga tetap akan menjadi pemandangan lazim kala musim
liburan. Kemacetan ini pun mengurangi efisiensi angkutan umum, terlebih bus hijau
yang mempergunakan subsidi, serta mengurangi kenyamanan saat tinggal di
Yogyakarta.
Bagaimana rupa pariwisata
Yogyakarta tidak dapat ditentukan dari cetak biru milik Dinas Pariwisata
semata. Diperlukan adanya sinergi, yang diawali dari perbaikan infratruktur dan
sumber daya manusia yang dapat bersinggungan dengan sektor pariwisata, agar
pariwisata Yogyakarta terus berkembang mengikuti dinamika zaman tanpa harus
melepaskan akar tradisionalnya. Selain itu, tak sekadar dukungan moral,
dukungan finansial pun perlu digenjot untuk membesarkan kesenian kontemporer
ini. Gelaran seni seperti Biennale, ART|JOG, dan semacamnya perlu didukung
lebih serius. Jangan sampai pemerintah kalah oleh salah satu yayasan yang juga
bergerak di bidang kesenian, yang rajin mensponsori berbagai acara seni tak
hanya di Yogyakarta tapi juga di skala nasional.
REFERENSI
Adikta,
D.D. dan Nurdiana, S.R., 2011. “Rupa Berhiaskan Harapan”. Equilibrium, No. XIII, 2011, h.
45-46.
Badan Pusat Statistik,
2012. Berita Resmi Statistik No.
58/09/Th. XV, 3 September 2012. [pdf] Jakarta: Badan Pusat Statistik. Tersedia
di: www.bps.go.id/brs_file/pariwisata_03sep12.pdf [diakses pada 18 Desember
2012].
Maharini,
E. dan Indri, M., 2011. “Tari Kreasi Baru: Wujud Kebebasan Berakar Tradisi.”. Equilibrium,
No. XIII, 2011, h. 47-48.
P. A.
Kemal, et al., 2012. “ Menengok Rapor
Merah, Menelisik Masalah.” Equilibrium,
No. XIV, 2012,
h. 18-20.